Setelah berpindah beberapa kali, Windhu dipromosikan sebagai Wakil Ketua di salah satu Pengadilan tempat dia pernah bertugas dulu. Perjalanan karir Windhu tergolong wajar. Promosi dan mutasinya tidak terlihat terlalu mencolok. Karakter jujur tapi tukang protes yang melekat padanya sejak awal menjabat sebagai hakim, menjadikannya semacam orang yang dibenci tapi juga dirindukan oleh Mahkamah Agung. Ia diperlukan, disayang, sekaligus diwaspadai sehingga diberikan perhatian khusus agar tidak membuat banyak kegaduhan di dalam sistem. Pak Nates, yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan, lebih senior 3 angkatan dibandingkan Windhu.
Windhu sebenarnya adalah tipe para pimpinan pengadilan yang rata-rata tidak disukai. Anehnya, ketidaksukaan itu akibat dari keinginan mereka membangun disiplin yang kuat. Akibat keinginan mereka berusaha membersihkan lembaga, mulai dari praktik-praktik penyelewengan anggaran, penyalahgunaan kewenangan dan praktik-praktik koruptif lainnya. Akibat dari sulitnya mereka didekati oleh makelar-makelar kasus yang bersliweran di pengadilan. Sebaliknya, Pak Nates, puya karakter yang bertolak belakang dengan Windhu
Windhu tetap tidak mengajak keluarganya, dengan alasan yang masih sama, khawatir kegiatan sekolah anak-anaknya terganggu. Putri pertamanya sudah duduk di bangku SMP, sedangkan yang kedua masih SD. Hanya sesekali Prapti, istrinya, datang berkunjung untuk menghadiri kegiatan organisasi wanita di lingkungan peradilan. Selebihnya Widhu yang lebih sering pulang mengunjungi keluarganya.
Wilayah hukum pengadilan negeri tempat ia bertugas saat ini banyak menangani perkara-perkara pencurian dengan kekerasan. Tidak jarang terjadi pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Namun demikian, pemeriksaan terhadap perkara-perkara seperti itu tidak menimbulkan kekhawatiran yang berarti bagi Pengadilan. Sebagian besar terdakwa atau kerabat terdakwa tidak menunjukkan perilaku yang membuat takut aparat pengadilan. Di sisi lain keluarga korban juga tidak mengekspresikan diri berlebihan ketika hadir dalam persidangan-persidangan. Tetapi, di balik ketenangan situasi kantor, ternyata ada masalah besar yang tersembunyi.
***
Setelah 4 bulan melaksanakan tugas, Windhu memperhatikan Ketua Pengadilan melakukan banyak hal, yang tanpa memerlukan pengetahuan khusus sekalipun, akan disadari merupakan pelanggaran-pelanggaran etik. Mulai dari sering mengobrol dengan advokat atau salah satu pihak yang berperkara di ruangannya, menerima tamu-tamu yang dikenal sebagai markus (makelar kasus) di rumah dinasnya. Bahkan, di akhir tahun pertama Windhu melaksanakan tugas, ada beberapa pihak dari LSM dan anggota masyarakat melaporkan tindak tanduk Ketua Pengadilan yang terang-terangan meminta uang kepada para pihak yang berperkara, atau keluarga Terdakwa jika perkaranya ingin dimenangkan, atau jika ingin mendapatkan hukuman yang ringan. Para pegawai juga banyak yang mengeluhkan ‘permainan kasar’ Ketua Pengadilan ini.
Windhu menceritakan hal tersebut kepada Prapti.
“Ini sudah keterlaluan, Ma. Pengadilan ini dibuat seperti warung. Hukuman sekian bulan harganya sekian juta rupiah, penetapan sita jaminan harganya sekian persen dari nilai objek sengketa. Zaman sekarang ini lho, kok masih begitu? edan itu namanya. Rasanya Papa tidak tahan terus-terusan berdiam diri”
Prapti menjawab dengan lembut, “Mama tidak ingin menambahi beban Papa, dari dulu Papa kan sudah tahu sikap Mama. Apa yang menurut Papa baik, lakukan saja. Mama akan selalu mendukung”
“Eh…sebentar Ma, ada tamu” Windhu memutus sambungan telepon dengan istrinya karena ada yang mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk…” kata Windhu
Yang mengetuk pintu ternyata Pak Nates. Windhu kaget, lalu bangun dari duduknya.
“Oh, maaf Pak, saya pikir siapa. Silahkan masuk Pak, silahkan duduk” Windhu menjadi salah tingkah, karena khawatir pembicaraan dengan istrinya tadi didengar oleh Pak Nates.
“Sibuk Pak Wakil? ” Tanya Pak Nates
“Oh, tidak Pak Ketua, saya baru selesai menelpon istri saya”
“Bagaimana keluarga Pak? sehat-sehat?”
“Oh, ya..sehat Pak. Keluarga Bapak bagaimana? mudah-mudahan sehat”
“Yah, syukur semuanya sehat Pak. Hmm…ini Pak, saya mau menyampaikan sesuatu”
“Apa, Pak?” Tanya Windhu
“Ada satu perkara pidana yang Bapak pegang, nama terdakwanya Sikat kalau tidak salah. Perkara penggelapan itu”
“Oh, ya Pak…, kemarin sempat masuk koran. Kerugian korban yang disebut dalam dakwaan besar sekali, hampir satu milyar ya Pak” Windhu menanggapi.
“Iya, begini Pak Wakil, saya kebetulan dimintai tolong dari keluarga Terdakwa, kebetulan kawan di sini juga. Katanya memang ada konspirasi dan Terdakwa yang dikorbankan. Kalaupun Terdakwa memang ada salah, mereka ingin minta keringanan hukuman, ada niat Terdakwa bersama keluarganya untuk mengganti kerugian. Ya, saya sih tidak mengetahui pasti bagaimana fakta di persidangan, itu hanya cerita dari keluarga Terdakwa saja. Kalau bisa dibantu ya syukur pak, kalau tidak bisa juga tidak apa-apa”
“Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, Pak. Saya akan pertimbangkan segala sesuatunya dan berusaha memberikan keadilan” Kata Windhu
Setelah mengobrol ngalor ngidul sebentar, Pak Nates kemudian kembali ke ruangannya.
“Wah, dia berani bermain di perkara yang aku tangani” Pikir windhu.
Windhu tidak menceritakan hal itu kepada kedua anggota majelisnya untuk menghindari muncul perasaan yang kurang nyaman. Walaupun ada kemungkinan Pak Nates sudah mendekati anggota yang lain sebelum bicara kepada dirinya.
Garih, salah satu hakim anggota majelis terbiasa mengikuti pendapat Windhu, jarang sekali punya pendapat sendiri, terutama tentang berapa lama seorang Terdakwa harus dijatuhi pidana jika diputuskan bersalah melakukan tindak pidana. Dia hanya berhitung matematis, yakni menjatuhkan pidana dua pertiga dari tuntutan pidana, atau minimal setengah dari tuntutan pidana. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja dan meminta agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun.
Sempat terjadi perdebatan hangat soal apakah dakwaan Penuntut Umum Terbukti. Namun akhirnya diperoleh mufakat bulat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Tentang lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana, terjadi perdebatan juga antara Windhu dan dua anggotanya. Garih sebagai hakim anggota II, pertama kali dimintai pendapat. Ia menyatakan pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan sudah cukup bagi Terdakwa, seperti biasa perhitungannya matematis, minimal setengah atau dua pertiga dari tuntutan. Pendapat tersebut diikuti oleh Bua, hakim anggota I. Sedangkan Windhu berpendapat itu masih terlalu ringan. Pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan adalah setimpal dengan kesalahan terdakwa, yang berarti lebih tinggi dari tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan hampir mendekati ancaman pidana maksimal untuk pasal 374 KUHP. Windhu ingin menjatuhkan pidana yang berat, karena mengingat besarnya jumlah kerugian yang diderita korban dan mempertimbangkan pula cara-cara terdakwa dalam melakukan perbuatan termasuk tindakan Terdakwa yang menyembunyikan hasil kejahatannya, sehingga uang yang digelapkan sulit dilacak oleh polisi.
Karena Windhu bersikukuh dengan pendapatnya, sedangkan anggota yang lain tidak ada yang sependapat dengannya, dan pendapat merekapun maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Windhu memasukkan pendapatnya tentang penjatuhan pidana itu ke dalam putusan sebagai pendapat yang berbeda. Hal ini sempat ditentang oleh Bua karena dipandang tidak lazim. Dalam praktik selama ini, memang masih ada dualisme pendapat. Sebagian hakim berpendapat bahwa ruang lingkup pendapat berbeda yang wajib dimasukkan ke dalam putusan hanya yang menyangkut tentang Terdakwa bersalah atau tidak, atau bisa juga dimasukkan ke dalam putusan jika ada pendapat yang sama-sama menyatakan Terdakwa terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana, namun didasari atas argumentasi berbeda. Tentang perbedaan tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan, tidak perlu dimasukkan ke dalam putusan. Sedangkan sebagian hakim menganggap keduanya tidak masalah jika dimasukkan dalam putusan.
Windhu bersikukuh tetap ingin memasukkan pendapatnya itu dengan penafsiran bahwa perbedaan pendapat tentang berat ringannya pidana yang dijatuhkan adalah termasuk juga pendapat yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Tidak ingin memperpanjang perdebatan, Bua dan Garih mengalah.
***
Sidang perkara Sikat hari ini adalah pembacaan putusan. Putusan yang dibacakan Windhu tersebut, intinya adalah menyatakan Sikat sebagai salah satu karyawan di perusahaan korban terbukti bersalah melakukan penggelapan uang perusahaan dan karena itu ia dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan.
Suasana ruang sidang sangat tenang, tidak ada kegaduhan sama sekali. Hingga majelis hakim yang diketuai Windhu kembali ke ruangan, tidak terlihat ada masalah. Namun, secara tidak sengaja, ketika hendak menuju ke ruangan panitera pengganti, Windhu mendengar pembicaraan antara dua orang di salah satu ruang sidang. Yang satu panitera pengganti, sedangkan satunya lagi orang yang tidak ia kenal.
“Wah, kok hukumannya ringan sekali ya? padahal uangnya sudah diberikan”
“Ya, mau bagaimana lagi? putusannya seperti itu. Sudah biarkan saja..”
Windhu menengok ke ruangan itu. Kedua orang yang tadinya asik bicara, kaget melihat kehadiran Windhu.
“Oh, Pak Wakil…”
“Wah, serius sekali kelihatannya. Sedang membicarakan apa, kok saya dengar ada uang yang diberikan..uang apa? Diberikan kepada siapa?”
“Oh, ndak Pak, kami bicara soal lain..” jawab Pak Uras, nama panitera pengganti itu
“Pak Uras, tolong ke ruangan saya sekarang. Saya tunggu”
“Baik Pak”
Di ruangannya, Windhu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Pak Uras tidak bisa menutupi apa yang didengarnya dari keluarga korban tadi. Wardi, yang merupakan ipar dari korban menceritakan bahwa ia meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan agar kasus ini diperhatikan dan memastikan agar Terdakwa dihukum. Hal itu akan menjadi jalan masuk bagi mereka untuk mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi atas perbuatan Terdakwa yang menggelapkan uang perusahaan hingga milyaran rupiah selama beberapa tahun. Kerugian yang sesungguhnya, menurut cerita korban, lebih besar dari yang tercantum dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Windhu meminta Pak Uras untuk memanggil Pak Wardi untuk memastikan cerita itu. Setelah mendengar cerita dari Pak Wardi yang ternyata bersesuaian dengan cerita Pak Uras, Windhu mempersilahkan Pak Wardi pulang, namun sewaktu-waktu jika diperlukan, ia meminta kesediaan Pak Wardi untuk hadir kembali di Pengadilan terkait. Pak Wardi awalnya menolak, tetapi ketika diberitahukan bahwa semua yang dibicaraan tadi sudah direkam dan dijadikan bukti untuk melakukan pengusutan, Pak Wardi tidak bisa mengelak. Pak Uras juga kaget mendengar bahwa pembicaraan itu direkam.
Windhu kemudian memanggil kedua anggota majelisnya, lalu bertanya :
“Saya ingin anda berdua jujur saja, apakah anda terima uang dari Terdakwa, entah itu melalui keluarganya, melalui Jaksa Penuntut Umum, atau melalui pihak lain?”
“Ya Pak, jawab Bua, hakim anggota I.”
“Anda juga?”
“Iya, Pak…..jawab Garih, hakim anggota II”
“Siapa yang memberikan?”
“Ada orang yang sering datang ke pengadilan Pak, dia sering mengurus perkara”
Anda berdua paham kan, ini masalah serius?
“Ya Pak,…kami mohon maaf. Jawab Bua, sambil menunduk.
***
Pak Wardi terus menundukkan kepalanya di hadapan Pak Nates. Windhu memulai pembicaraan dengan menceritakan apa yang sebelumnya telah ia dengar.
“Saya sengaja mempertemukan Pak Ketua dengan Pak Wardi. Apakah benar Bapak kenal dengan Pak Wardi?”
“Saya tidak kenal” jawab Pak Nates
Pak Wardi menegakkan kepalanya, kaget dengan jawaban Pak Nates.
“Uang kami bagaimana Pak?” tanya Pak Wardi
“Lho uang apa?” tanya Pak Nates
“Bapak jangan pura-pura tidak tahu! Bapak bilang tenang saja, akan membantu mengurus asalkan disediakan dana” kata Pak Wardi
“Anda jangan bicara macam-macam…kalau anda menuduh tanpa bukti, saya bisa laporkan anda ke polisi” gertak Pak Nates
“Silahkan anda keluar dari ruangan saya!” Pak Nates mengusir Pak Wardi keluar dari ruangannya. Petugas keamanan membawanya pergi
Setelah Pak Wardi keluar, Windhu bertanya kepada Pak Nates.
“Apakah benar Bapak menerima uang dari keluarga korban?”
“Ah, tidak Pak, mana mungkin saya begitu. Bohong dia itu”
“Ini tidak bisa dibiarkan Pak, saya ingin ini diusut, siapa saja yang bermain dalam perkara ini.”
“Aah, sudahlah Pak, tidak usah diperpanjang, lama-lama diam sendiri mereka itu. Tidak usah dihiraukan”
“Anggota saya sudah mengaku menerima uang dari Terdakwamelalui seseorang. Sebelumnya saya mendengar dari Pak Wardi, ternyata Bapak menerima sejumlah uang untuk membantu memastikan Sikat dihukum. Bapak juga pernah meminta bantuan saya agar memberikan keringanan hukuman kepada Sikat. Saya memang lebih junior dari Bapak, tapi sekarang saya Wakil Ketua Pengadilan, Pak. Jangan anggap saya orang bodoh dan tidak tahu permainan dua kaki seperti itu.”
Usai Windhu mengatakan itu, terjadi cekcok mulut antara keduanya. Pak Nates marah besar atas tuduhan Windhu. Beberapa orang di lantai bawah sampai berusaha mendekat ke ruangan Pak Nates untuk mengamati situasi. Namun tidak berani masuk ke ruangan.
***
Selama beberapa hari, Windhu selalu teringat dengan cerita Pak Barda tentang sepak terjang tim angin topan Mahkamah Agung, yang dipimpin oleh Pak Dharma. Sukses membersihkan pengadilan dengan cara-cara yang ekstrim. Cerita itu sekarang terbayang olehnya seperti dongeng belaka.
Ia terbayang lagi dengan kebaikan seniornya, yang walaupun bukan hakim yang bersih, tetapi selalu menjaganya dari kemungkinan terpeleset dan jatuh ke jurang korupsi. Orang itulah yang melarangnya menerima hadiah dari pihak berperkara, lalu kemudian memberi bantuan kepadanya saat mengalami kesulitan keuangan beberapa tahun yang lalu.
Ia juga teringat amplop coklat berisi laporan yang tidak pernah terkirim ke KPK dan banyak lagi kenangan lain yang berkelebat di pikirannya. Ia memejamkan mata berusaha mengusir semua kenangan itu. Namun semakin ia berusaha, pikirannya justru semakin berkecamuk.
“Sekarang aku wakil ketua pengadilan. Tanggung jawab semakin berat. Tidak mungkin aku terus diam saja melihat semua kekacauan ini. Sampai kapan aku harus diam?” pikirnya
***
Di tengah ketidakpuasan, Windhu mencari jalan sendiri untuk menyelidiki peristiwa itu. Dia nekat mendatangi keluarga Terdakwa. Berbekal ketulusan, dan merasa tidak sepeserpun menerima uang, ia bertanya kepada beberapa keluarga Terdakwa namun tidak memperoleh keterangan yang diinginkan, karena mereka menutupi perbuatan mereka memberikan uang kepada majelis hakim melalui perantara orang lain ada juga orang dalam yang membantu. Berdasarkan keterangan dua anggota majelisnya, Windhu sudah tahu siapa yang menjadi perantara.
***
Segera Windhu menghadap Pak Nates dan menceritakan semua temuannya itu.
Ia berkata:
“Pertama, Bapak tidak bersedia mencari tahu masalah yang menimpa majelis yang saya pimpin. Saya akhirnya mencari informasi tanpa pengetahuan dan seizin Bapak. Untuk itu, saya minta maaf. Kedua, saya mendapatkan informasi yang lengkap dan Saksi-Saksi termasuk orang dari dalam pengadilan yang menurut saya patut dipercaya, bahwa Bapak telah menerima uang dari keluarga korban untuk membantu memastikan Terdakwa dihukum dalam perkara penggelapan itu. Konon uang itu Bapak terima di rumah dinas. Saya tidak tahu pasti apakah Bapak juga menerima sesuatu dari pihak Terdakwa, karena Bapak pernah meminta bantuan kepada saya untuk mengusahakan keringanan hukuman.”
“Kedua anggota saya sudah jelas-jelas menerima suap dari keluarga Terdakwa dengan perantara orang luar yang difasilitasi orang dalam, dengan tujuan sama dengan Bapak yakni mengusahakan keringanan hukuman. Sebetulnya, ini bukan laporan pertama yang saya terima, banyak yang melaporkan kepada saya tentang hal semacam ini. Saya ingin tanya kepada Bapak sekali lagi, dalam perkara Sikat, apakah Pak Ketua menerima uang dari beberapa pihak yang saya sebutkan itu?”
“Saya tidak ada urusan soal itu! Tentang laporan-laporan yang lain, kenapa Bapak baru bilang sekarang? Jangan sampai ini menjurus kepada fitnah Pak. Saya tidak terima kalau begini caranya” jawab Pak Nates
“Baiklah, kalau begitu saya akan berusaha membuat terang peristiwa ini, sekaligus membersihkan nama saya dengan melaporkan peristiwa ini kepada Mahkamah Agung, Saya juga akan melaporkan peristiwa ini kepada kepada KPK agar diperhatikan. Saya tidak mau peristiwa ini mengambang tidak jelas.”
“Lho, saya kan sudah bilang, saya tidak ada urusannya dengan itu. Buat apa melapor segala?” Pak Nates meradang
“Saya perlu mendapatkan kejelasan, dan dari dalam pengadilan sendiri saya tidak bisa mendapatkan bantuan untuk itu. Bapak juga seharusnya berusaha membersihkan nama Bapak kalau memang merasa tidak melakukan apa yang mereka katakan. Kenapa Bapak diam saja? menurut saya itu aneh sekali” kata Windhu
“Ya, terserah…apa maumu, saya akan ladeni” Pak Nates menutup pembicaraan
***
Prapti merasa tidak mungkin membendung keinginan suaminya. Ia memutuskan untuk tinggal sementara bersama Windhu, menemani di saat-saat yang genting itu. Anak-anak untuk sementara dijaga oleh keluarga terdekat.
Windhu membuat surat laporan yang terperinci mengenai dugaan Pak Nates menerima suap dari keluarga korban sekaligus Terdakwa, termasuk masalah suap yang diterima dua anggotanya dari keluarga Terdakwa Sikat. Selain itu, ia juga meneruskan laporan masyarakat tentang tindak tanduk Pak Nates yang sering meminta uang kepada pihak yang berperkara. Laporan itu ia kirimkan ke Mahkamah Agung dan KPK.
Sebelum Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa, KPK ternyata lebih cepat menanggapi laporan tersebut. Beberapa Saksi dipanggil termasuk Windhu. Dan tidak lama kemudian, Pak Nates, Bua, Garih, juga dipanggil.
Setelah Badan Pengawas melakukan pemeriksaan, ditemukan pelanggaran etik bahwa Pak Nates bertemu dengan keluarga korban dan beberapa pihak yang ada kaitannya dengan perkara. Soal menerima suap, tidak jelas kabarnya. Sedangkan untuk Bua dan Garih, posisinya sudah sangat jelas.
***
Setelah pemanggilan yang kedua, KPK menetapkan Pak Nates, Bua, Garih bersama beberapa orang termasuk yang bertugas di pengadilan negeri sebagai tersangka terkait perkara suap, dan saat itu juga mereka semua ditahan. Pemberitaan di televisi atau media cetak mengenai kasus itu sangat ramai. Pimpinan Pengadilan Tinggi atas petunjuk Mahkamah Agung kemudian sibuk memberikan arahan-arahan kepada pimpinan pengadilan negeri, untuk menghindari kasus serupa terjadi lagi. Mereka perlu menekankan kembali kekompakan, ketaatan pada kode etik, pemberantasan korupsi dan sebagainya.
Windhu juga ikut tegang, namun perasaan menang menguasai dirinya. Dia meluapkan rasa kemenangan itu kepada Prapti dengan penuh semangat. Prapti menahan perasaan senang dan sekaligus berusaha menyembunyikan kekhawatiran.
***
Putri, anak pertama Windhu sudah mulai kuliah di Fakultas Hukum di sebuah Perguruan Tinggi di Bali. Dia menunjukkan hasrat yang sama dengan ayahnya. Pembawaan mereka mirip. Banyak bicara, kritis dan ingin menonjol secara sosial. Suatu hari, ia menyampaikan kepada ibunya ingin menjadi hakim seperti ayahnya. Tapi ibunya tahu betul apa yang ada di balik anaknya.
“Kenapa kamu ingin menjadi hakim, nak?” Tanya Prapti
“Putri ingin mengabdi kepada negara, Ma, seperti yang dilakukan Papa”
Prapti membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang
“Mama sudah tua, Mama tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Putri harus tahu, Papa tidak akan pernah setuju kalau kamu ingin menjadi hakim hanya sebagai perantara pelampiasan dendam para korban kejahatan”
“Apa maksud Ibu?, tidak begitu kok” elak Putri
“Putri…, melampiaskan dendam atas kematian Papa hanya akan membuatmu semakin sulit melepaskan diri dari lingkaran kebencian. Mama bukannya tidak sedih mengingat peristiwa 6 tahun yang lalu, yang sampai sekarangpun kita harus rela menyimpan sebagian misterinya di dalam hati. Tapi Mama tidak ingin anak mama hanya berhasrat menjadi seorang algojo, atau penguasa yang diselimuti kebencian dan dendam. Itu sama sekali bukan cita-cita Papa. Papa akan sedih, Nak.
“Kenapa Putri tidak boleh menjadi hakim? Kenapa menghukum berat orang-orang jahat itu salah, Ma? kenapa yang membunuh Papa sampai saat ini dibiarkan saja? Padahal Papa berjuang untuk membersihkan negara ini dari penjahat-penjahat tengik!. Bagaimana mungkin Mama membiarkan saja hal ini? Putri tidak terima ayah diperlakukan begitu..”
Dalam pelukan ibunya, Putri menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala beban berat yang hinggap di dadanya selama bertahun-tahun pasca ayahnya ditemukan meninggal di rumah dinas dengan luka bacokan di sekujur tubuhnya. Beberapa barang berharga hilang. Pelakunya telah diadili. Ia terbukti bersalah melakukan pencurian dengan kekerasan dan dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun. Banyak keraguan yang menghinggapi pikiran warga pengadilan saat itu, terutama tentang motif pelaku. Sebenarnya ada dakwaan pembunuhan, namun yang berhasil terbukti di persidangan hanya pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal. Ceritanya sederhana, karena Widhu berusaha melawan pelaku, maka pelaku berusaha menghentikan perlawannya. Windhu bukanlah tandingan perampok berpengalaman. Motif yang lain yang banyak menjadi pergunjingan, tidak pernah terbukti.
Prapti berusaha menenangkan Putri. “Menangislah Nak, saat ini kita memang hanya punya air mata. Kalau kamu memang bersikukuh bercita-cita menjadi hakim, ibu tidak akan menghalangi. Tapi, ibu berharap bukan karena dendam. Bukan semata-mata karena kematian Papa. Ada tanggungjawab yang besar ketika nanti kamu berhasil menduduki jabatan yang mulia itu. Ada beban pengabdian, pengorbanan, untuk memperbaiki kehidupan bangsa ini. Papa dengan sangat sadar memilih jalan hidup yang berat itu. Ketika kamu memakai toga seperti yang dipakai Papa, keberanianmu harus kamu gunakan untuk melaksanakan kewajibanmu, memberikan keadilan.”
“Putri melepaskan semua bebannya hari itu, hingga lelah dan tertidur”
Prapti melihat anaknya yang beranjak dewasa, mulai merasakan konflik dalam batin. Ia mulai mengkhawatirkan lagi apa yang akan terjadi di masa depan.
————-000ooo000————-
Dipersembahkan untuk Para Hakim yang ada di seluruh Nusantara, di setiap jengkal tanah pijakan pengabdian, yang hingga saat ini masih berjuang dan berkorban untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.