21
Nov
15

WISATA SYARIAH

Saya tertarik dengan informasi di facebook tentang ide pembangunan wisata syariah di Bali. Karena belum paham asal muasalnya, saya mencoba menelusuri pemberitaan di media lain. Dan setelah membaca informasi dari beberapa sumber, sepertinya ada kaitannya dengan pernyataan Muliaman D. Hadad Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat melantik kepengurusan MES Bali, selain itu ada juga pernyataan Dadang Hermawan (Ketua MES) Bali, serta keterangan dari Kasubdit Korporasi Direktorat MICE dan Minat Khusus Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Taufik Nurhidayat yang mengatakan, 13 provinsi yang sudah siap mengembangkan wisata syariah yakni Nusa Tenggara Barat (NTB), Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Bali.

http://www.antarabali.com/berita/81525/mes-ingin-dongkrak-wisata-syariah-di-bali, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/11/16/nxwop1346-bali-ingin-garap-wisata-desa-syariah, http://nasional.sindonews.com/read/994208/162/13-provinsi-siap-jadi-tujuan-wisata-syariah-1430102126.

Pak Muliaman mengharapkan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Provinsi Bali ikut berkontribusi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Pulau Dewata. Salah satunya melalui potensi wisata syariah, mengingat Bali dikenal sebagai tujuan wisata dunia. Beliau juga mengatakan bahwa Bali cocok untuk mengembangkan hal tersebut karena ada tujuh juta wisatawan domestik datang ke Bali disamping tiga juta orang asing. Mungkin saja ada pengusaha yang mempunyai ide bersama pemerintah daerah untuk memperkenalkan wisata syariah. Dikatakan juga bahwa banyak wisatawan yang menginginkan pelayanan secara islami atau secara syariah sesuai keyakinan yang mereka anut saat berwisata.

PERISTILAHAN
Apa itu wisata syariah? Dari apa yang saya baca, masih menurut pendapat Pak Muliaman D Hadad, adalah pariwisata yang berbasis islami. Dengan mengambil contoh negara Korea Selatan dan Jepang yang memperkenalkan potensi ekonomi seperti busana, kesehatan, tempat hiburan dan kuliner yang berbasis Islami. Yang menarik kemudian adalah pernyataan beliau bahwa dalam hal ini, kita tidak sedang berbicara agama, tetapi ekonomi. Dan tidak ada maksud lain selain bisnis. Sampai di sini, saya berpendapat bahwa Pak Muliaman tidak konsisten dan sepertinya malu-malu ingin memperkenalkan lebih jauh dunia Islam kepada pelancong yang datang ke Bali. Entah itu kepada orang asing atau mereka yang non muslim yang ada diantara tujuh juta wisatawan domestik yang datang tiap tahun.

Jadi, menanggapi pendapat Pak Muliaman, yang mengatakan ini bukan soal agama, ya saya pikir perlu dipertanyakan. Bagaimana mungkin kita tidak bicara agama sedangkan jelas apa yang disebut syariah itu adalah istilah dalam agama Islam? Saya pikir tidak perlulah Pak Muliaman bersikap seperti itu. Kita ini sesungguhnya bangsa yang terbuka dan memang harus terbiasa terbuka dalam perbedaan.

Intinya, membicarakan wisata syariah, tidak mungkin tidak membicarakan konsep agama Islam. Bagaimana budaya masyarakat Islam? Bagaimana perkembangan Islam di Bali?, bagaimana mereka membina hubungan antar sesama manusia berdasarkan ajaran agamanya?  Bagaimana cara berpakaian orang yang menganut agama Islam? Bagaimana orang Islam memasak makanannya? Kalau tentang kesehatan, bagaimana ilmu kesehatan orang Islam? Dan seterusnya.Bagaimana bisa tidak bicara agama.Bagaimana mungkin membangun wisata syariah tanpa memahami konsep-konsep agama Islam?

Pengusaha yang beragama Hindu sekalipun memang harus bisa menangkap peluang itu. Sama seperti apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu di suatu daerah di Bali, pemilik tempat usaha yang beragama Islam menyewa orang Bali untuk melakukan ritual menghaturkan canang sari (sarana untuk pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi) di pelangkiran yang dipasang di salah satu sudut tempat usaha itu. Apakah hal semacam ini dibolehkan dalam agama Islam, saya tidak tahu. Tapi jelas ini adalah cara untuk menarik minat konsumen. Orang Bali juga seharusnya bisa mempekerjakan saudaranya yang Muslim untuk memotong ayam atau hewan lainnya yang digunakan untuk bahan makanan yang mereka jual. Bila perlu daftarkanlah produk yang dijual ke MUI untuk mendapatkan sertipikat halal agar konsumen yang beragama Islam tidak ragu membeli. Dari sisi ini, memang benar ini bisnis.

Lain lagi pendapat Pak Taufik, menurut beliau, wisata syariah lebih memberikan ketenangan kepada wisatawan muslim maupun nonmuslim karena lebih aman dan nyaman terutama bagi mereka yang membawa keluarga. ”Mereka tidak merasa terganggu oleh wisatawan lain yang sedang minum-minum misalnya. Wisata syariah adalah wisata yang di dalamnya berasal dari alam, budaya, ataupun buatan yang dibingkai dengan nilai-nilai Islam.

Bertitik tolak dari penjelasan Pak Taufik, jika yang dimaksud adalah menyediakan fasilitas, akomodasi yang nyaman bagi pelancong yang beragama Islam sehingga disesuaikan dengan tata cara hidup mereka sebagai penganut agama Islam, maka itu tidak masalah. Masjid, rumah makan yang memiliki sertifikat halal, bertebaran di Bali. Kalau soal memastikan tidak ada gangguan dari wisatawan yang sedang minum-minum misalnya, sangat mudah melakukannya, yaitu jangan pergi ke tempat mereka meminum minuman beralkohol. Sekalipun belum tentu juga mereka yang sedang minum-minum itu akan mengganggu. Lagipula, tidak mungkin wisatawan yang Islami pergi ke Pub atau Bar yang notabene tempat bagi turis yang ingin minum dan menikmati hiburan di sana. Jika misalnya ada pemabuk yang menganggu wisatawan Muslim yang sedang menikmati pantai milik Publik di Kuta, tinggal lapor polisi. Dan perlindungan standar seperti itu bukan hanya untuk kaum Muslim, tapi semua orang, bahkan turis yang tidak beragama sekalipun, jika diganggu, maka harus dilindungi.

BISNIS PARIWISATA

Lalu pertanyaannya, apakah tidak boleh penduduk Islam di Bali mengembangkan perekonomian dan bisnis yang sesuai dengan agama yang dianutnya? boleh! Dan sudah berjalan. Bank syariah ada di Bali. Penduduk muslim di Bali yang berbisnis, misalnya di bidang kuliner, menggunakan tata cara yang sesuai dengan agama mereka dalam memproduksi dan memasarkan. Setidaknya itu bisa dilihat dari stiker Halal di produk makanan atau di tempat usahanya stiker itu membuat saya berasumsi bahwa mereka mengolah, memasarkan produknya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Itu hal yang paling mudah untuk mengetahui bahwa produk mereka halal. Bahkan kita sudah sejak lama terbiasa melihat ada rumah makan dengan papan nama bertuliskan “Warung Muslim”

Sekarang begini, terkait dengan pariwisata, jutaan wisatawan yang datang ke Bali, latar belakangnya beragam. Agamanya, sukunya, pandangan politiknya, warna kulitnya dan sebagainya. Kenapa Bali itu menarik? Karena keindahan alamnya, budayanya yang sebagian besar dipengaruhi oleh praktik agama purbanya, praktik agama Siwa-Budha atau Hindu baik yang lahir di India atau berkembang di Jawa. Selain itu adat istiadatnya juga memberikan karakter kuat. Di Pulau kecil yang berpenduduk beberapa juta orang inilah berbagai agama hidup dengan semarak karena konsep dalam agama Hindu yang toleran. Masyarakatnya toleran. Lembaga adat dan hukum-hukumnya juga hidup dan berkembang dengan baik. Di pulau yang kecil inilah, saudara-saudara saya dari berbagai agama dan etnis, atau mereka yang nama agamanya belum diketahui, belum didata oleh pemerintah, bisa hidup berdampingan mencari penghidupan. Apa yang ada di Bali yang selama ini ‘dijual’ adalah, budaya dan tradisi yang bernafaskan agama sebagaimana yang saya uraikan di atas itu. 

Soal bisnis secara umum. Saya berikan contoh. Di Lapangan Puputan Badung, ada keluarga Muslim yang berjualan minuman dan snack tepat di depan penjual sate babi. Saya yang kebetulan pernah makan sate babi di situ, beli minumnya di pedagang yang Muslim di depannya. Saya berkenalan dengan mereka semua. Baik penjual sate babinya atau pedagang minumannya. Anak-anak pedagang muslim ini juga dikenalkan kepada saya oleh orang tuanya yang ramah, mereka anak-anak manis dan yang sopan. Atau contoh lain, deretan toko di jalan Sulawesi Denpasar, di sana banyak saudara-saudara saya umat Muslim entah itu keturunan India atau Arab berjualan kain kebaya atau kain yang digunakan oleh masyarakat Hindu Bali sebagai bahan pakaian ke Pura. Laris manis. Ada peluang ekonomi dari tingginya intensitas upacara agama dan adat di Bali yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Sekalipun ada sebagian saudara-saudara Muslim kami yang fanatik (kebanyakan para pelancong atau yang baru-baru menetap), tidak mau berbelanja di toko yang pemiliknya bukan Muslim (sekalipun bukan berjualan makanan hasil olahan sendiri dan tidak ada stiker halalnya), tapi itu tidak mempengaruhi pola pikir sebagian besar masyarakat Bali yang memang tidak terbiasa membeda-bedakan perlakuan hanya berdasarkan identitas seperti agama. Memang harus diakui, sekarang mulai muncul reaksi dari sebagian masyarakat terhadap sikap fanatik sempit itu. Mereka khawatir kekuatan ekonomi masyarakat Hindu di Bali justru terpuruk. Ada aksi dan reaksi. Hukum sebab akibat ini memang membuat banyak persoalan yang sebenarnya awalnya sederhana, menjadi rumit. Dan mudah-mudahan fenomena ini disadari oleh semua pihak dan semuanya segera menata kembali pola pikir yang berkaitan dengan hubungan sosial dan ekonomi.

Jadi, pendapat saya pribadi, membangun bisnis wisata itu tidak melulu pikiran kita tertuju kepada uangnya, hasilnya, potensi keuntungan hari ini, tapi juga persoalan membangun image. Wisatawan yang datang ke Bali harus diberi tahu, bahwa beginilah penduduk Bali yang hidup di tanah Bali. Inilah agama, budaya Bali yang membentuk masyarakatnya menjadi seperti kita lihat sampai sekarang. Semua orang dari berbagai negara, agama, suku, hidup berdampingan dengan damai, diberikan perlindungan dan bebas menjalankan keyakinannya.  Anda bisa mendengar adzan berkumandang di Masjid saat Pendeta Hindu di Pura sebelahnya mulai melakukan puja dan membunyikan genta. Anda bisa melihat keunikan Pura Langgar di Bangli. Di Pura yang lain, ada tempat sembahyang untuk yang beragama Budha. Atau bagaimana kehidupan masyarakat Hindu dan Islam di sebuah daerah yang bernama Buda Keling-Karangasem. Mereka hidup damai  selama berabad-abad. Dalam upacara ngaben, tidak jarang nyama selam (sebutan bagi mereka yang beragama Islam) berpartisipasi dengan menyumbangkan kesenian gamelan rudat. Bagaimana sejarah mereka? Bagaimana kehidupan mereka di sana? itulah yang dikemas sebagai paket wisata supaya pelancong tertarik.

Jika kemudian ada yang bertanya, bukankah justru karena Bali itu perekonomiannya bukan hanya dibangun oleh orang Bali yang beragama Hindu, tapi juga oleh orang-orang dari segala penjuru dunia termasuk umat Islam, maka tidak ada salahnya jika menggunakan istilah Islam dalam berbisnis untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan? Untuk menjawab ini, saya akan mengajak anda membandingkan dengan daerah lain. Daerah-daerah yang memiliki destinasi wisata yang berhubungan dengan sejarah agama Hindu, Budha atau agama lainnya.

Misalnya apakah karena di Jawa Tengah ada Candi Borobudur yang pernah menjadi salah satu keajaiban dunia (sampai sekarang sih menurut saya masih keajaiban dunia), kemudian perlu dibuat istilah wisata Budhis atau istilah lain yang merujuk kepada agama Buddha untuk Kabupaten tempat Candi Borobudur itu berada yang bertujuan mengambil peluang pasar pemeluk agama Budha di seluruh dunia? Belum pernah saya dengar masyarakat di sana baik yang beragama Budha, Islam atau lainnya mengusulkan begitu. Apa mungkin karena angka pelancong beragama Budha dianggap kecil sehingga peluang untuk mendapatkan uang juga kecil? Saya tidak terlalu paham. Atau contoh lain, apakah karena di daerah Trowulan itu erat kaitannya dengan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan besar yang berdiri pada masa-masa penduduk Nusantara sebagian besar memeluk agama Budha, Siwa-Buda atau Hindu, kemudian wilayah itu harus diberi image baru sebagai destinasi wisata Hindu-Budha atau istilah lain yang berhubungan dengan itu? dan karena itu, harus juga dibangun infrastruktur yang sesuai dengan hukum Hindu untuk menarik wisatawan Hindu dari seluruh dunia? saya belum pernah dengar wacana seperti itu dari Pemerintah atau masyarakat lokal di sana. Apakah perlu? Mari didiskusikan juga, supaya pikiran kita terbuka. Supaya kita tahu bagaimana kira-kira pendapat masyarakat Indonesia.

Buat saya sih, yang namanya infrastruktur/ prasarana wisata itu, yang penting ramah untuk semua orang.  Mau sembahyang ada tempatnya, mau beristirahat ada tempatnya, mau makan ada tempatnya, tidak sulit mencari makanan bagi yang Muslim karena makanan mereka harus halal, tidak sulit bagi umat Hindu yang sebagian punya keyakinan tidak boleh makan daging sapi, tidak sulit bagi yang lain sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Hal lain yang tentu tidak kalah pentingnya bagi saya adalah warisan-warisan dari masa lampau itu bisa bermanfaat bagi masyarakat di masa kini. Dan agar bermanfaat, tentu harus dirawat. Diperkenalkan sejarahnya. Diceritakan terus menerus, supaya kita semua tidak lupa dengan sejarah bangsa kita sendiri.

Kita tidak bisa menyepelekan urusan istilah. Karena sekali lagi bisnis pariwisata erat kaitanya dengan image. Jika ingin membuat istilah untuk bisnis pariwisata di Bali atau di mana saja, supaya terkesan ada unsur agamanya, maka kita juga harus bersedia belajar dari pengalaman Bali. Bahwa paket wisata yang diberi istilah yang diambil dari ajaran-ajaran Hindu, ternyata setelah ‘dijual’ mengalami bias dengan filosofinya. Akibatnya apa? Ada distorsi dalam memahami konsep-konsep agama Hindu. Menghadapi persoalan semacam itu butuh energi yang besar.

Saya tidak ingin terlalu naif mengatakan tidak ada masalah akibat berbedaan-perbedaan atau akibat hal-hal lain sebagai imbas industri pariwisata. Banyak masalah. Namun orang Bali juga dibekali banyak sekali ‘alat’ untuk membantu, sebagai tuntunan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Terekam dalam berbagai teks-teks kuno, penuturan-penuturan para tetua, melalui simbol-simbol yang hadir dalam upacara-upacara agama, upacara-upacara adat, melalui karya-karya seni, melalui lukisan-lukisan, patung-patung, atau kebudayaan-kebudayaan fisik lainnya.

Jika ada hal yang ingin diketahui ketika seseorang datang ke Bali untuk berwisata, maka sudah sepatutnya kepada mereka ditunjukkan hal-hal yang telah saya ungkapkan di atas. Daerah lain, boleh menyediakan hal yang lain, dan biarlah semua orang Indonesia di berbagai daerah merasakan manfaat ekonomi dari keragaman budaya yang dimiliki masing-masing.

MEMBANGUN IMAGE DESTINASI WISATA

Ketika saya datang ke Aceh, saya ingin tahu mengapa daerah itu disebut Serambi Mekah. Bagaimana perkembangan agama Islam di sana dan pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat? Malah, sebenarnya di daerah inilah yang paling cocok menurut saya dibangun sebagai percontohan apa yang disebut wisata syariah itu (sebagaimana yang telah direncanakan). Kita harus serius membangun kembali image Serambi Mekah, membuat orang penasaran, ingin tahu, ingin datang berbondong-bondong ke sana untuk melihat Serambi Mekah.

Apa yang perlu dilakukan di Aceh, harus segera dilakukan. Masyarakat non muslim yang hidup di sana, mencari penghidupan di tanah Serambi Mekah, sudah sepatutnya membantu membangun daerah itu dengan mempromosikan budaya-budaya lokal, mempromosikan keluhuran nilai-nilai ajaran Islam.

Selain itu, paket-paket perjalanan wisata religi seperti wisata Wali Songo, Wali Lima dan daerah yang terkenal dengan Kota Santri (di Jawa Timur yang saya tahu antara lain Probolinggo, Situbondo, Bondowoso) atau di Jawa Tengah dan Barat yang saya pikir juga bagus potensinya, harus digarap secara serius untuk menjadi destinasi wisata syariah yang dimaksud oleh Pak Muliaman itu dan Pak Taufik. Karena basisnya, yakni hal-hal yang Islami sudah ada.

RESIKO BISNIS PARIWISATA

Ini juga penting. Resiko bisnis. Kita tidak bisa hanya berharap keuntungan tetapi tidak mau menghadapi resikonya. Bisnis pariwisata, sebagaimana juga bisnis-bisnis lainnya, juga memiliki resiko. Kesenjangan dan benturan budaya, tekanan pemodal, dan sebagainya. Tapi itulah tantangan yang harus dihadapi. Bali sampai saat ini masih berusaha bertahan dari segala tantangan itu. Konflik terus terjadi.

Semua orang merasa boleh mencari untung di tanah Bali, semua merasa harus serius berlomba untuk merebut peluang ekonomi, peluang bisnis di Bali. Pendeknya mencari uang. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah semuanya bersungguh-sungguh berperan menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul di Bali?

Jangan sampai semua orang hanya mau uangnya, tapi masalahnya dibiarkan orang Bali yang mengurus, pontang-panting, jatuh-bangun. Menjaga Budaya dan Agama di Bali konon harus lebih banyak diurus Masyarakat Adat, Orang Hindu Bali, sedangkan potensi ekonominya bisa dinikmati sebesar-besarnya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan seluruh dunia.

PENYEBARAN PEMBANGUNAN PARIWISATA

Karena negara ini negara besar, maka untuk kesejahteraan bersama, bisnis pariwisata harus menyebar. Ketika saya datang ke Aceh, seperti yang saya sebut di atas, saya bisa berwisata melihat sejarah peradaban Islam di sana. Di Kalimantan, saya ingin tahu langsung bagaimana kehidupan Suku Dayak, bagaimana agama mereka, bagaimana caramereka membuat kain-kain bercorak dan berwarna indah?, bagaimana kearifan-kearifan lokal mereka menuntun hidup mereka? Ketika saya datang ke tanah leluhur orang Batak, saya tentu ingin tahu budaya mereka, sejarah agama mereka, keindahan alamnya dan sebagainya. Ketika saya datang ke tanah Bugis, saya ingin tahu sejarah mereka, budaya mereka, para pelaut pemberani, sebagaimana juga orang Madura. Ketika saya datang ke Lombok, saya ingin melihat bagaimana warisan-warisan percampuran budaya Lombok-Bali, bagaimana sinkretisme agama terjadi di sana. Saya ingin mendengar sekali lagi dentuman suara gendang belig yang membangkitkan semangat itu. Ketika saya membayangkan Nusa Tenggara Timur, saya ingin melihat rumah Mbaru Niang di Maggarai yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Saya ingin melihat Pasola, saya ingin melihat pantai-pantainya yang indah. Saya ingin mendengar nyanyian mereka, ingin mendengar doa-doa mereka. Ketika saya ke Papua, saya ingin melihat budaya orang Papua, bagaimana leluhur mereka mengajari mereka menjaga alam ….dan seterusnya.

Saya yang orang Indonesia, tidak mampu menyebutkan satu persatu daerah Indonesia yang indah dan beragam budayanya dalam tulisan yang singkat ini. Tapi itulah, dagangan kita hari ini. Meskipun banyak orang seringkali seperti alergi menyebut kata dagang. Tetapi semua orang perlu penghidupan, mata pencaharian. Jika memang bisnis pariwisata adalah salah satu sumber penghasilan yang masih menjanjikan, maka negara kita yang kaya agama, suku, budaya,  dan punya slogan Bhineka Tunggal Ika, punya harapan besar untuk tetap hidup di segala zaman. Dengan catatan jika kita mampu menenggangkan rasa, saling menghormati dan saling memahami.

Terakhir, jika memang komunitas MES ini ingin membantu membangun perekonomian Bali lewat pariwisata, maka akan lebih baik jika mereka ikut mempromosikan apa yang dimiliki umat Hindu di Bali, entah itu kearifan ajaran-ajarannya, falsafah hidupnya, agar semakin menarik minat para pelancong. Dengan sikap yang egaliter begitu, maka mereka juga akan mendapatkan manfaat, kepercayaan dari masyarakat Bali atau dari masyarakat daerah lain. MES akan dianggap sebagai organisasi yang membumi tanpa kehilangan karakternya atau akidahnya sebagai Muslim,  mampu bekerjasama dengan siapa saja, di mana saja, membangun perekonomian untuk kesejahteraan bersama. Jika orang Hindu di Bali makin sejahtera, pendapatan mereka semakin meningkat, toh mereka tidak akan membelanjakan uangnya hanya di tempat-tempat saudara seagamanya berjualan. Yang suka makan sate kambing bikinan Pak Haji Saleh, tetap akan ke sana sepanjang kualitas produknya terjaga. Yang ingin makan di warung muslim dekat rumah, mari sudah. Yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan produk-produk kebayanya Tasnim, gadis Muslim keturunan India yang berjualan di seputaran jalan Sulawesi, akan tetap pergi ke sana saat membutuhkan bahan kebaya yang baru. Uangnya disimpan di mana? Mereka punya pilihan, menyimpan di Bank konvensional, Koperasi, atau di Bank Syariah, silahkan saja. Mekejang liang. Semua senang. Every body happy!

Salam.


1 Tanggapan to “WISATA SYARIAH”


  1. 1 novelen yairristi
    Januari 3, 2016 pukul 4:01 pm

    so blessed!
    lagi nyari bahan buat tugas, dan nemu artikel ini.
    thanks a lot. god bless..


Tinggalkan komentar