Arsip untuk Juni, 2015

27
Jun
15

Apakah setiap polisi yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor harus memiliki surat tugas?

Gambar : kaskushoothotthreads.blogspot.com

Gambar : kaskushoothotthreads.blogspot.com

Masih terkait soal tilang. Beberapa hari belakangan ramai diperbincangkan soal rekaman video yang dibuat seorang pengendara kendaraan bermotor yang mempertanyakan surat tugas polisi yang ingin memeriksa surat kendaran dan surat izin mengemudinya. Dalam pemberitaan, disebutkan bahwa pengendara ini kesal karena dirinya diberhentikan oleh petugas di sebuah tikungan jalan yang sepi. Tidak diceritakan apa masalahnya hingga dia dihentikan di ruas jalan tersebut. Ia juga mengajak masyarakat agar berani mempertanyakan praktik pemeriksaan yang demikian, dan lebih teliti membedakan mana razia resmi mana yang illegal dengan mempertanyakan surat tugas atau memperhatikan keadaan-keadaan teknis seperti tanda-tamda operasi resmi.

Sejak lama, sudah ada tulisan dalam blog yang intinya sama yakni mengajak masyarakat supaya lebih kritis terhadap tindakan pihak kepolisian dalam melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan, malah ada kesan untuk mengajari melawan polisi agar terhindar dari tilang.

Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan masyarakat terkait masalah ini. Pertama, memahami jenis-jenis tindakan kepolisian atau instansi terkait dalam penegakan hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahum 2009 dalam hal pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Kedua, bagaimana membedakan Operasi Kepolisian (sering disebut razia) resmi dan tidak resmi.

Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dilakukan secara berkala (tiap 6 bulan sekali) atau secara insidental. Pemeriksaan kendaraan bermotor secara insidental dilakukan berdasarkan tiga hal, 1. Operasi Kepolisian, 2. Terjadi pelanggaran yang tertangkap tangan, 3. Penanggulangan kejahatan. Pasal 14 Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2012. Inilah jenis-jenis pemeriksaan kendaraan di jalan.

Lalu, pasal 15 (1) mengatur begini : Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang melakukan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala atau insidental atas dasar Operasi Kepolisian dan/atau penanggulangan kejahatan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas.

Nah, jadi, pemeriksaan kendaraan bermotor yang dilakukan oleh petugas kepolisian atau penyidik pegawai negeri sipil atau gabungan dari mereka berdasarkan operasi kepolisian dan penanggulangan kejahatanlah yang harus memenuhi syarat adanya surat perintah tugas. Sedangkan pemeriksaan karena ada pelanggaran yang tertangkap tangan tidak perlu. Analoginya begini, kalau ada penjambret kebetulan terlihat polisi, apakah polisi ini perlu minta surat perintah penangkapan atau perintah penyitaan agar dia bisa mengejar dan menangkap pelakunya? Keburu kabur dong penjahatnya. Sama seperti pelanggaran lalu lintas, kalau ada polisi lalu lintas kebetulan melihat pelanggar lampu lalu lintas, dia bisa langsung menghentikan pengendara dan melakukan tindakan.

Lain halnya dengan pemeriksaan yang didasari atas operasi kepolisian atau penanggulangan kejahatan. Operasi kepolisian itu biasanya dilakukan melibatkan banyak petugas pada waktu-waktu dan tempat tertentu serta ada tanda-tanda khusus seperti yang diatur dalam pasal 22 Pasal 14 Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2012 berikut :

”Pasal 22 (1) Pada tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, kecuali tertangkap tangan. (2) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan. (3) Pemeriksaan yang dilakukan pada jalur jalan yang memiliki lajur lalu lintas dua arah yang berlawanan dan hanya dibatasi oleh marka jalan, ditempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum dan sesudah tempat pemeriksaan. (4) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan. (5) Dalam hal Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan pada malam hari, petugas wajib: a. menempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3); b. memasang lampu isyarat bercahaya kuning; dan c. memakai rompi yang memantulkan cahaya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri”

Jika anda melanggar aturan lalu lintas dan kebetulan ada petugas kepolisian yang melihat kemudian melakukan tindakan, tidak perlu melawan. Bekerjasamalah dengan polisi, minta maaf. Jika masih diberikan peringatan ya syukur. Kalau ditilang ya sudah, ikuti saja. Kalau anda tidak merasa melakukan pelanggaran, lakukanlah pembelaan diri, berikan argumentasi. Jika polisi tetap ngotot, minta saja ditilang dan anda bisa membela diri di depan hakim. Saya sendiri pernah melepaskan seseorang yang didakwa melanggar salah satu ketentuan pidana dalam uu lalu lintas. Tapi kasusnya tidak akan saya bahas di sini. Intinya, walaupun perkara tilang itu sangat sederhana sifatnya, bukan berarti tidak mungkin terjadi kekeliruan yang menyebabkan seseorang bisa bebas atau lepas dari tuntutan hukum.

Jika ada pemeriksaan kendaraan bermotor yang dilakukan oleh banyak petugas polisi dan/atau penyidik dari Dinas Perhubungan di suatu tempat, tapi mungkin menurut anda keadaannya meragukan, maka anda berhak menanyakan surat perintah tugas.

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih detail, bisa membaca UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindaka Pelanggaran Lalu Lintas dan Jalan.

Semoga bermanfaat.

27
Jun
15

Pahami ketika memilih blangko tilang warna biru.

b7OIQR44fe62Z8ttxNtEyX76bU2uOeOuRZoGwcnumsS9olRFrJHhAU5frksrZmP3L0hcLZyUmdAWxn3yJDLG_94NB_-xZeKGCkCptN3QtDGaNzOUO2xf=w515-h285-nc(Gambar : solopos.com)

Foto ini tersebar di internet dan belum diketahui siapa yang mengunggahnya pertama kali. Secara teknis, tulisan itu tidak sepenuhnya selaras dengan prosedur tilang. Jika pembuat foto ini pernah kena tilang dan mengikuti prosedur penggunaan blangko tilang warna biru secara benar, mungkin dia akan berpikir ulang membuat foto seperti ini, karena penitipan denda di bank sampai saat ini masih harus sebesar denda maksimal yang tercantum dalam pasal yang dilanggar, bukan sebesar denda yang nanti akan dijatuhkan hakim. Misalnya denda maksimal yang tercantum di UU Lalu-Lintas jika mengemudikan kendaraan tapi tidak punya SIM adalah Rp1.000.000. Maka jika menggunakan blangko biru, maka kita harus menitipkan uang di Bank sejumkah Rp 1.000.000. Nanti kalau dijatuhkan denda Rp.50.000oleh hakim, maka sisanya yakni Rp950.000 bisa diambil kembali

Karena itulah kalau hal semacam ini diketahui dengan jelas, maka wajar jika ada yang memilih hadir saja di sidang atau menyuruh orang lain mewakilinya(dengan surat kuasa) Daripada harus menitipkan uang sebanyak itu. Setelah sidang, lalu denda di bayar, barang bukti langsung dikembalikan. Kalau menggunakan blangko biru, barang bukti yang disita bisa diambil setelah kita menitipkan uang di bank, tapi tetap harus menghadiri sidang atau menyuruh orang lain untuk mewakili (atau kalau tidak datang, putusannya akan diberitahukan) untuk mengetahui berapa denda yang dijatuhkan kepada kita, lalu selisih antara denda dan uang titipan bisa diambil menggunakan salah satu salinan blangko tilang yang telah tercantum besaran denda.

Sebenarnya sama saja banyak waktu dan tenaga yang tersita. Bedanya hanya ketika menggunakan blangko boru, barang sitaan bisa langsung kita ambil kembali.

Tapi, terlepas dari hal-hal teknis di atas, yang sepertinya akan terus disempurnakan, ada hal lain yang perlu kita apresiasi dari kreativitas ini, yakni ajakan untuk tidak ikut-ikutan korupsi. Soal tilang adalah persoalan hukum yang sangat sederhana, yang saya sendiripun setelah menjadi hakim baru bisa memaksakan diri untuk malu jika sampai kena tilang, apalagi sampai ‘berdamai’ dengan Polisi dengan ‘pasal 20 ribu atau 50 ribu’

26
Jun
15

Advokat dan Ritual Kejujuran

Para advokat adalah orang-orang terpelajar dan ahli di bidang hukum. Mereka memiliki tugas mendampingi, mewakili, memberikan bantuan, nasihat-nasihat soal hukum, memastikan bahwa orang yang sebelumnya tidak paham hukum, menjadi paham. Kemudian memastikan apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka yang didampingi menjadi jelas dan dimengerti. Jadi hubungan antara advokat dengan klien bukan sekedar hubungan kerjasama atau hubungan dua pihak yang dangkal, dimana yang satu menghendaki sesuatu namun awam soal hukumnya, dan satunya lagi bertugas memikirkan dan mengusahakan dengan segala cara agar kehendak itu bisa terwujud.

Advokat adalah profesi yang punya peran sangat strategis dalam penegakan hukum dan keadilan. Apa yang diinginkan seseorang bisa saja bertentangan dengan hukum, atau sebaliknya, keinginan itu punya dasar hukum yang kuat namun tidak bisa terwujud dengan mudah karena terbentur ‘tembok-tembok’ kokoh, sehingga para advokat diperlukan tenaga dan pikirannya untuk membantu.

Dalam hukum acara pidana, para advokat ini disebut penasihat hukum. Tugasnya mendampingi, memberikan bantuan hukum, memberikan nasihat-nasihat kepada tersangka atau terdakwa mengenai hak-hak dan kewajibannya menurut hukum di setiap tingkatan pemeriksaan.

Istilah pembela bagi para advokat yang mendampingi tersangka atau terdakwa bisa jadi telah terdistorsi sedemikian rupa sehingga seolah-olah para advokat ini membela apapun kehendak kliennya. Padahal tidak begitu rohnya. Membela kepentingan hukum bisa jadi sejalan dengan kehendak klien atau bisa sebaliknya, tidak sejalan, seperti yang saya singgung di atas. Tapi advokat harus tetap ada di jalan hukum, melaksanakan kewajiban hukumnya.

Karena itulah, di awal pendampingan, ada satu ‘ritual’ yang tidak bisa dilewatkan oleh advokat dan tersangka atau terdakwa yang didampinginya, yakni ritual kejujuran. Tersangka atau terdakwa harus mengungkapkan sejujur-jujurnya segala peristiwa yang dialaminya, semua perbuatan yang dilakukannya. Hanya jika ritual itu sudah dilewati, advokat bisa menjalankan kewajibannya dengan baik. Atau setidaknya bisa dinilai apakah ia adalah advokat yang jujur atau justru malah bersekutu untuk menyembunyikan kebenaran, atau sekedar mengekor saja apa yang telah dikerjakan oleh para penyelidik, penyidik, penuntut umum yang posisinya mewakili negara.

Dalam sistem peradilan, peran advokat ini sama sebenarnya dengan jaksa penuntut umum, dan hakim. Semuanya punya kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran. Dalam persidangan perkara perdata sekalipun, dimana ada asas bahwa hakimnya pasif dalam pengertian bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa ditentukan oleh para pihak yang berperkara (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty 1988, hal.11), hakim masih diberikan celah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan atau nasihat kepada kedua belah pihak tentang upaya hukum dan alat bukti yang dapat dipergunakan oleh mereka. Bahkan, para pihak sendiri tidak jarang memberikan keleluasaan kepada hakim jika sekiranya ia memiliki pendapat lain. Pada akhirnya memohon putusan yang seadil-adilnya. Tentunya tidak jauh dari pokok sengketa perkara tersebut. Di sisi lain, kebebasan para pihak untuk mengajukan sengketa, termasuk mengakhirinya sendiri dengan jalan perdamaian, bukan tidak mungkin menyimpan persoalan yang sifatnya meta (ada tetapi tidak diungkapkan) Misalnya, bisa saja ada sebuah sengketa fiktif sengaja dibuat untuk menunda peristiwa hukum tertentu terkait dengan pihak ketiga yang mungkin akan segera terjadi. Atau tujuan mengajukan sebuah perkara adalah ingin menciptakan hak bagi pihak tertentu untuk kepentingan tertentu yang melawan hukum. Atau mungkin saja ada rekayasa alat-alat bukti agar fakta yang muncul dipersidangan sesuai dengan yang diinginkan salah satu pihak atau kedua belah pihak dan lain sebagainya. Disinilah peran kejujuran menjadi krusial. Advokat yang jujur tidak akan mau membuka jalan-jalan seperti itu. Karena ia paham, itu adalah jalan penyelundupan hukum, jalan-jalan gelap yang menciptakan konflik baru dan ketidakadilan.

Hak Untuk Berbohong ?

Dalam proses peradilan perkara pidana, sering sekali saya mendengar atau membaca pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak bahwa tersangka atau terdakwa boleh saja berbohong. Memang, seorang tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk menyangkal tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya. Karena itu, diberikanlah hak kepada dirinya untuk membela diri. Tapi bukan berbohong.

Mungkin ini adalah bentuk distorsi dari pemaknaan asas non self incrimination. Seorang terdakwa memiliki hak untuk tidak memberikan keterangan yang bisa memberatkan dirinya. Bahkan dalam hukum acara pidana kita sebagaimana diatur dalam pasal 175 KUHAP, ditegaskan bahwa seorang terdakwa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah itu adalah hak untuk berbohong?

Distorsi itu bisa juga terjadi karena menyamakan antara hak tersangka atau terdakwa untuk memberikan keterangan yang bebas dalam tingkat penyidikan dan peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 52 KUHAP sebagai hak untuk berbohong.

Atau bisa juga yang terjadi adalah kekeliruan pemahaman terhadap hak ingkar. Ingkar itu dianggap hak untuk berbohong, padahal bukan. Hak ingkar dalam hukum acara pidana itu terkait dengan keberatan seorang terdakwa karena disidangkan oleh hakim yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang ketika mengadili suatu perkara. Misalnya salah satu hakim dalam majelis memiliki hubungan keluarga (suami/istri) dengan hakim anggota yang lain. Jadi dalam konteks ini, hak ingkar itu bukanlah hak untuk berbohong. Semua yang diperiksa dalam tiap tahapan peradilan baik itu saksi, ahli, tersangka, terdakwa, seharusnya jujur, bebas tanpa tekanan. Sekalipun terdakwa tidak disumpah dalam memberikan keterangan di persidangan, jangan sampai muncul kesan terdakwa ini kemudian diizinkan berbohong. Keterangan terdakwa yang tidak disumpah, adalah alat bukti yang sah dan memiliki nilai pembuktian seperti halnya keterangan saksi.

Di sisi lain, sikap tersangka atau terdakwa yang tidak mengakui sangkaan atau dakwaan yang ditujukan kepadanya, jangan pula buru-buru dianggap ketidakjujuran. Bisa saja yang tidak jujur itu adalah saksi-saksi, atau ada rekayasa  pada bukti-bukti yang mengarahkan bahwa tersangka inilah yang patut diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana atau bukti-bukti yang telah direkayasa tersebut memberikan keyakinan kepada hakim bahwa terdakwa telah terbukti sebagai orang yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Untuk menghindari peradilan yang sesat seperti itu, tentu saja semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan ini harus mengarahkan dirinya sendiri secara bersungguh-sungguh untuk menjamin pengungkapan fakta yang didasari atas kejujuran, tidak mendapatkan halangan.

Jika terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka metode juga sudah disediakan untuk meresponnya, untuk mengembalikan lagi perjalanan sistem peradilan dalam tataran praktis pada relnya. Sekali lagi para advokat punya peran yang sangat strategis dalam menjaga hal ini.

Kerjasama Dalam Mencari Kebenaran dan Keadilan

Kewajiban advokat adalah berusaha mengungkapkan kebenaran untuk mencari keadilan, bersama penuntut umum dan hakim. Menurut pemahaman saya, kultur penegakan hukum seperti inilah yang diharapkan oleh alm Satjipto Rahardjo hidup dalam praktik peradilan. Masing-masing tidak ada dalam posisi saling berseteru, tapi bekerja sama untuk mewujudkan keadian. Suatu saat kita tidak akan mudah terkejut jika ada lagi tindakan penuntut umum menuntut agar terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena menganggap bukti-bukti yang mereka ajukan ternyata mampu dilemahkan oleh pembelaan terdakwa. Atau kita juga tidak akan menganggap aneh jika para advokat memberikan nasihat kepada terdakwa yang didampinginya bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh penuntut umum terlalu kuat sehingga meragukan pembelaan diri yang diungkapkan kliennya. Kita juga akan terbiasa jika penuntut umum tidak selalu berhasrat untuk menuntut penjatuhan pidana yang tinggi kepada hakim, atau tiba-tiba mengajukan tuntutan pidana yang terlalu  rendah, tapi mengajukan tuntutan pidana yang sesuai atau setimpal dengan kesalahan terdakwa. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi, penasihat hukum terdakwa justru tidak sependapat dengan tuntutan pidana yang terlalu rendah oleh karena kesalahan atau tingkat pencelaan terhadap perbuatan terdakwa yang didampinginya membuat seharusnya terdakwa dijatuhi pidana yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan hakim, ketika menjatuhkan putusan, tidak sekedar mendasarkannya dari angka-angka tuntutan penuntut umum, tetapi juga mempertimbangangkan pembelaan terdakwa, membandingkannya dengan putusan-putusan perkara yang sejenis, sehingga disparitas pemidanaan bisa dipertanggungjawabkan. Ini semua soal hati nurani. Keadilan pada akhirnya adalah soal kata hati nurani. Ada kejujuran yang selalu ingin membuncah dari dalamnya.

Dalam tulisan singkat ini, saya tidak bisa menuangkan semua persoalan yang dihadapi para advokat dalam dalam tataran praktik peradilan di Indonesia. Kita punya harapan bersama agar praktik peradilan kita akan semakin baik. Masyarakat tidak hanya sekedar dibuat taat pada hukum, taat pada pasal-pasal undang-undang, taat dan menghormati putusan peradilan, Melainkan juga menyadari hal-hal yang tersembunyi dibaliknya dan menyadari bahwa hukum seharusnya digunakan untuk menciptakan keadilan.

Situbondo, 19 Juni 2015