Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah disahkan pada tanggal 14 Oktober 2009. Lahirnya undang-undang ini dilatar belakangi oleh semakin meningkatnya potensi ancaman terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional akibat alih fungsi lahan pertanian subur, baik karena pertambahan penduduk atapun perkembangan ekonomi dan industri. Alih fungsi lahan ini menimbulkan implikasi yang serius terhadap produksi pangan dan kesejahteraan sejumlah besar masyarakat Indonesia yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dimaksud dalam Undang-Undang No 41 tahun 2009 adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Khusus di wilayah perkotaan, saat ini banyak kita lihat lahan-lahan pertanian yang terhimpit pembangunan perumahan atau bangunan-bangunan lain. Pemilik lahan yang masih mempertahankan lahannya untuk pertanian secara konsisten, merupakan subyek yang harus mendapat perhatian dan perlindungan serius dari Pemerintah melalui program-program yang termuat dalam Undang-Undang ini.
Ada beberapa hal menarik yang perlu dicatat dalam Undang-Undang ini yakni :
- Salah satu cara pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yakni dengan pemberian insentif berupa keringanan pajak bumi dan bangunan (pasal 37 huruf a jo. pasal 38). Peningkatan nilai jual obyek pajak yang merupakan dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan khususnya di wilayah perkotaan, menjadikan kondisi petani semakin terjepit. Hasil pertanian yang bisa mereka nikmati dalam setahun akan terbebani dengan besarnya pajak tanah yang harus mereka bayar. Dengan program pemberian insentif khusus kepada petani berupa keringanan pajak bumi dan bangunan, diharapkan bisa mengurangi beban mereka sehingga dapat meningkatkan kesejahterannya.
Namun, ada hal yang perlu dikritisi dari ketentuan ini, insentif bagi para petani tersebut sebaiknya tidak hanya diberikan kepada petani yang mengelola lahan yang telah ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tetapi patut pula diberikan kepada petani yang secara nyata telah mengelola tanahnya untuk usaha pertanian pangan secara konsisten, walaupun kemudian lahannya tidak ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
- Larangan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kecuali untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (1) dan (2). Dalam penjelasan pasal 44 ayat (2), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik.
- Adanya ketentuan perlindungan yang tegas jika di atas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diterbitkan izin yang menimbulkan pengalihan fungsinya sebagai lahan pertanian. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 50 ayat 1 yang menyatakan bahwa “segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, batal demi hukum kecuali untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2).
- Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan perlindungan kepada petani sebagaimana di atur dalam pasal 62 ayat (1) berupa : a. Harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan, b. Memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian, c. Pemasaran hasil pertanian pangan pokok, d. Pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan/atau e. Ganti rugi akibat gagal panen
- Dibentuknya Bank Bagi Petani (pasal 63 huruf f)
Sejalan dengan pendirian Bank Bagi Petani ini, akan dibentuk pula suatu lembaga pembiayaan mikro di bidang pertanian yang dananya bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dana tangung jawab sosial dan lingkungan dari badan usaha serta dana dari masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang ini harus direspon secepatnya oleh Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai langkah nyata keseriusan dalam memperbaiki kesejahteraan petani di negara ini. Langkah nyata itu salah satunya adalah segera menguraikan bagaimana nantinya sistem perencanaan, penetapan, pengendalian dan pengawasan terhadap lahan-lahan pertanian yang produktif, serta memastikan rencana-rencana strategis mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani serta pembiayaannya, tersusun secara sistematis dan selaras dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah atau peraturan-peraturan lain yang terkait.
Tetap menjadi petani atau tidak adalah pilihan yang harus dihargai. Jika negara bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa pekerjaan bertani bisa memberikan jaminan masa depan yang lebih baik, maka negara tidak perlu memaksa rakyatnya untuk tetap bertani, mereka akan dengan senang hati menjadi petani dan tentunya negara akan memperoleh keuntungan terbesar yakni terjaganya ketersediaan pangan bagi kepentingan nasional.
Semoga dengan lahirnya Undang-Undang No 41 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang kita harapkan akan segera menyusul, merupakan harapan baru bagi perbaikan kesejahteraan petani di Indonesia sebagai pilar utama ketahanan dan kedaulatan pangan.
Waingapu, 15 Nopember 2009