Arsip untuk Oktober, 2010

18
Okt
10

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Bagi yang selama ini merasa kecewa dengan cara kerja penyelenggara negara di seluruh lembaga kekuasaan negara baik di ranah eksekutif, legeslatif atau yudikatif, mereka mungkin akan semakin pandai memberikan label negatif pada setiap orang atau instansi yang berbau birokrat. Sikap skeptis dan pesimis menjalar dimana-mana, ketidak percayaan (distrust) kepada lembaga-lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan negara, khususnya dalam bidang penegakan hukum mengarahkan masyarakat kepada ketidak pedulian terhadap hukum yang berlaku.

 

Kondisi sepert ini ini tentu kontra produktif dengan cita-cita bangsa kita yang berharap segera keluar dari segala kemerosotan sebagai akibat dari kesalahan di masa lalu. Generasi muda dihadapkan pada situasi yang membingungkan, seperti seorang terpidana yang baru keluar dari penjara, sebelumnya ia sama sekali tidak mengetahui kondisi dunia luar, namun tiba-tiba ia dihadapkan pada sebuah realita yang diluar pemahamannya sehingga sulit mencerna setiap peristiwa dan galau untuk melangkah.

 

Pasca reformasi 1998, keterbukaan informasi menjadi satu hal yang sangat penting, Banyak hal yang sebelumnya sangat tabu untuk diketahui, akhirnya bisa diakses oleh publik secara terang benderang. Tetapi pemahaman masyarakat tentang aspek-aspek hukum yang substansial dari suatu peristiwa yang terjadi disekitar mereka menjadi masalah baru.

 

Memang telah terjadi perubahan besar pasca reformasi 1998, konstitusi telah beberapa kali dirubah, munculnya lembaga-lembaga baru, tatanan kelembagaan dan fungsi-fungsi alat kelembagaan negara juga disempurnakan dengan tujuan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Namun dalam tataran pemikiran, ternyata masih banyak yang belum berubah, konflik-konflik horizontal dan vertikal hampir setiap hari tersaji kehadapan publik.

 

Ada sebuah teori besar yang bisa menjadi dasar untuk mengamati keadaan masyarakat Indonesia saat ini yakni teori konflik. Teori ini mengedepankan situasi konflik sebagai karakteristik dalam proses-proses sosial. Teori konflik tidak melihat adanya hubungan yang berikatan antara bagian-bagian dari suatu sistem yang menimbulkan keadaan ekuilibrium (sebagaimana ditekankan pada Teori Struktural-Fungsional yang bertolak belakang dengan teori konflik), melainkan suatu keadaan yang dibayang-bayangi oleh konflik yang terus menerus (Prof. Satjipto Raharjo ; 1990)

 

Ada beberapa asumsi dari teori konflik yang dikemukakan oleh Apter sebagaimana dikutip oleh Prof Satjipto Raharjo yakni :

  1. Setiap masyarakat, setiap saat selalu dihadapkan kepada perubahan-perubahan sosial merupakan hal yang umum.
  2. Setiap masyarakat, dalam segala bidangnya selalu memperlihatkan adanya ketidak cocokan dan konflik-konflik sosial merupakan hal yang umum.
  3. Setiap masyarakat didasarkan pada pemaksaan oleh segolongan anggota-anggota masyarakat terhadap anggota-anggota masyarakat yang lain.

 

Konflik yang terjadi terus menerus tentu sangat mencemaskan, guncangan-guncangan dalam masyarakat bisa mengganggu tatanan sistem kemasyarakatan yang selama ini telah terbangun dengan baik yang dipayungi oleh agama, hukum adat dan hukum nasional sebagai sebuah kesepakatan bersama.

 

Lebarnya jarak antara ekspektasi masyarakat dengan kenyataan perilaku penegakan hukum yang selama ini memberikan celah terakumulasinya ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum, seolah-olah menjadi alasan pembenar tindakan-tindakan anarkis atau main hakim sendiri. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, Pemerintah sudah sepatutnya bertanggung jawab penuh, namun tidak bisa dibiarkan sendiri menanggulangi persoalan ini.

 

Negara memerlukan bantuan. Keadaan masyarakat yang cepat marah, tidak mengindahkan hukum, mengutamakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, menjadi sinyal bahwa aparat penegak hukum memerlukan banyak bantuan dari masyarakat yang mustinya mereka layani untuk menyadarkan lingkungannya tentang pentingnya menempatkan hukum sebagai panglima, menyadarkan bahwa walaupun kondisi penegakan hukum belumlah sempurna, namun seluruh pemangku kepentingan sekarang sedang didorong, diawasi dan dipaksa untuk berubah telah bekerja keras untuk mewujudkan kondisi yang lebih ideal .

 

Disatu sisi, sepertinya keadaan yang seperi ini menunjukkan kelemahan negara, namun disisi lain harus disadari pula bahwa ketidak acuhan masyarakat (karena rasa frustasi, pesimis dan ketidak percayaan) hanya akan menumbuhkan dan menyuburkan benih-benih konflik-konflik baru.

 

Kesadaran hukum masyarakat dapat terbentuk dari sebuah kedewasaan berpikir dan pemahaman tentang segala hal yang menjadi hak dan kewajiban dasarnya sebagai warga negara. Ini tentu tidak mudah bagi mereka yang sehari-hari masih bergelut dengan kesulitan ekonomi atau pendidikan. Rasanya hal-hal semacam ini terlalu jauh bagi mereka untuk dipikirkan, tetapi harus ada yang secara sukarela merangkul mereka, rela meluangkan waktu sedikit saja bagi mereka untuk memberikan semacam bekal ilmu yang sederhana, yang mudah dicerna dan diresapi. Sehingga adagium yang sampai sekarang masih menjadi sebuah harapan besar yakni “setiap orang dianggap tahu hukum” bisa terwujud, atau setidaknya terlihat jelas perjalanan ke arah itu.

 

Pemerintah memang memiliki program secara rutin yang disebut dengan penyuluhan hukum, namun intensitas dan sasarannya kurang. Bisa dimaklumi karena pelaksanaan program penyuluhan hukum ini terkait dengan birokrasi, sehingga penyelenggaraannya disesuaikan dengan tersedianya anggaran.

 

Melihat kondisi yang demikian, para sarjana hukum diseluruh Indonesia sesungguhnya punya tanggung jawab moral untuk menjawab kegelisahan ini. Gelar yang disandang sebagai “hadiah pertarungan akademis” di bangku kuliah harus dipertanggung jawabkan dihadapan masyarakat. Masyarakat, walaupun tidak mengungkapkannya secara jelas sesungguhnya menunggu peran para sarjana yang seharusnya siap pakai ini.

 

Dalam kerangka berpikir yang positif, para sarjana hukum sebaiknya mengambil posisi ikut bertanggung jawab terhadap gerakan penyadaran masyarakat tentang pentingnya menggunakan instrumen-instrumen hukum yang tersedia untuk menyelesaikan masalah.

 

Gejala-gejala sosial seperti menjamurnya aksi-aksi solidaritas dan perkumpulan-perkumpulan di dunia maya yang tertarik terhadap suatu bidang tertentu harus disusupi dengan informasi-informasi yang berkaitan tentang hak-hak hukum yang dijamin oleh konstitusi, prosedur-prosedur penyelesaian masalah di Pengadilan atau bagaimana tata cara mengajukan gugatan di pengadilan jika merasa haknya dirampas orang lain, bagaimana caranya menggugat pemerintah jika mereka merasa ada keputusan yang merugikan bagi mereka dan lain sebagainya. Sebagaimana yang telah diketahui, saat ini sangat mudah mengakses blog-blog yang berisi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum (biasanya disebut dengan istilah blawg)

 

Daerah-daerah pedesaan saat ini sudah dijangkau oleh akses internet, dengan bantuan telepon seluler, anak-anak dan orang tua di pedesaan sudah mulai akrab menggunakan fasilitas internet dengan biaya yang murah, kondisi semacam ini harus dimanfaatkan oleh para sarjana hukum untuk mengabdikan ilmunya bagi masyarakat disela-sela kesibukannya bekerja, bersenang-senang atau mengurus keluarga.

Sepertinya hal semacam ini sepele, tetapi jika dikemas dalam bentuk yang benarik dengan penyebaran yang bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit, tentu efeknya sangat luar biasa, asalkan dilakukan secara konsisten.

 

Jika kita sepakat bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah tanggung jawab kita bersama, maka alangkah baiknya jika setiap orang, khususnya sarjana hukum di republik ini, terlebih lagi bagi pemuda-pemuda yang fresh graduate, atas kesadarannya segera mengambil langkah-langkah nyata dan sederhana untuk menyelamatkan bangsa.

 

Semarapura, 8 Oktober 2010

 

 

 

17
Okt
10

Sekilas tentang Kejahatan Kesusilaan

Sebagian masyarakat masih salah memahami beberapa hal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya mengenai persetubuhan dengan seorang wanita. Banyak yang menyangka bahwa berhubungan kelamin dengan perempuan di luar perkawinan, khususnya dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun, asal suka sama suka tidak ada masalah. Pendapat seperti itu jelas tidak benar, karena hukum kita mengatur larangan-larangan yang berkaitan dengan hal ini.
Saya hanya membahas persoalan ini dari sisi hukum pidana di Indonesia saja, dari sisi yang lain misalnya agama atau ilmu-ilmu sosial lainnya, tentu banyak orang lain yang lebih berkompeten untuk membahasnya.
Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Bab XIV KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), bukan “Kasih Uang Habis Perkara” hehehe…
Dalam Bab itu, antara lain diatur mengenai kejahatan perzinahan, perkosaan, pencabulan dan lain-lain.
Pasal 287 berisi tentang larangan bagi seseorang untuk bersetubuh dengan seorang wanita dilular perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum limabelas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa berlum waktunya untuk dikawin. Orang yang melakukan perbuatan ini dapat diadukan oleh korban atau pihak yang berhak mewakilinya ke pihak Kepolisian untuk dimintai pertanggung jawaban secara pidana.Atau, anda bisa juga langsung diproses tanpa ada pengaduan, jika umur perempuannya belum 12 tahun atau jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat.
Ancaman hukuman untuk kejahatan seperti ini juga tinggi, 9 tahun. Karena itu yang dituduh melakukannya bisa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan atau selama proses persidangan di pengadilan.
Ada juga yang lain, pasal 290 ayat (2) . isinya begini “barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin”
Jadi jangan dikira, perbuatan cabul atau persetubuhan yang dilakukan suka-sama suka antara laki-laki dengan perempuan yang usianya belum lima belas tahun itu tidak dilarang. Yang suka sama suka saja dilarang, apalagi dengan ancaman atau dengan kekerasan, ya lebih gawat lagi ancaman hukumannya, seperti yang di atur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002.
Nah, setelah kejadian baru nyesel…ternyata suka-sama suka nggak selalu menyenangkan, malah jadi nginep beberapa lama di hotel prodeo.
Semoga bermanfaat
Semarapura 11 Oktober 2010

17
Okt
10

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN (PERDATA)

Beberapa rekan saya pernah menanyakan soal bagaimana caranya berperkara di pengadilan, entah itu ada sengketa hak milik, cerai atau masalah-masalah lain yang sedang dihadapinya dan harus berurusan dengan birokrasi di Pengadilan.

Kadang-kadang saya juga sulit meyakinkan bahwa berurusan di pengadilan itu tidak se menakutkan yang mereka pikir, tapi saya memaklumi, karena sebagian besar masyarakat sedang mengambil sikap tidak percaya kepada segala hal yang berbau birokrasi.

Semua penyelenggara negara dianggap bobrok, lebih baik mereka menyelesaikan persoalannya sendiri ketimbang menggunakan instrumen-instrumen hukum yang ada. Suatu kondisi yang kurang fair memang, tapi sebagai pelayan masyarakat tentu kita harus bisa berdiri pada posisi yang tepat sehingga ketidak percayaan yang sedang berkembang di masyarakat tidak menjadikan kita lebih frustasi dan kemudian mengabaikan fungsi kita sebagai pelayan yang berusaha memberikan keadilan bagi masyarakat.

Secara garis besar perkara yang masuk kepengadilan dibedakan menjadi dua yakni Perkara Pidana dan Perkara Perdata. Yang kita bahas sekarang adalah tentang prosedur berperkara untuk perkara perdata. Perkara-Perkara perdata ini dibagi lagi menjadi dua jenis yakni : Gugatan dan Permohonan.

Apa bedanya?

Gugatan ini diajukan oleh seseorang atau badan hukum yang merasa memiliki persoalan hukum dengan pihak lain. Misalnya ada perjanjian yang dilanggar, ada perbuatan melanggar hukum atau hal-hal lain yang berkaitan dengan dua hal itu tadi (dilain kesempatan akan dibahas lebih detail tentang hal ini) Sedangkan Permohonan, perkara ini sifatnya tidak memiliki sengketa, hanya bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan hukum dari satu pihak. Misalnya : permohonan pengangkatan anak, permohonan ijin kawin bagi orang yang belum dewasa (dan permohonan lainnya yang tegas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan)

Kedua perkara ini diajukan dengan prosedur yang tidak jauh berbeda, kecuali Hakim yang memeriksanya. Dalam perkara permohonan biasanya diperiksa oleh Hakim tunggal dibantu oleh seorang Panitera, sedangkan dalam perkara gugatan, diperiksa oleh Majelis Hakim yang terdiri dari satu Ketua Majelis dan dua orang anggota dibantu oleh Panitera/ Panitera Pengganti untuk membuat Berita Acara Persidangan.

Pertama-tama dibuat dulu sebuah surat gugatan/permohonan tertulis, ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Surat gugatan ini ditanda tangani oleh Penggugat (atau orang lain yang bertindak atas namanya selaku kuasa), kemudian diserahkan kepada Petugas pada Meja I (biasanya di ruangan Panitera Muda Perdata ada petugas khusus yang bertugas menerima berkas perkara) Kemudian petugas tersebut akan memeriksa kelengkapan berkas perkara.

Setelah berkas yang diajukan lengkap, maka Penggugat diwajibkan membayar panjar biaya perkara. Panjar biaya perkara ini ditentukan dengan mempertimbangkan jarak dan kondisi tempat tinggal para pihak agar proses persidangan yang berhubungan dengan pemanggilan dan pemberitahuan dapat terselenggara dengan baik, selain itu diperhitungkan juga biaya administrasi yang dipertanggung jawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi (contohnya : biaya pendaftaran Rp. 30.000, biaya meterai : Rp. 6000., redaksi putusan : Rp. 5.000 )

Setelah seluruh proses administrasi tersebut di atas selesai, maka Penggugat dan Tergugat tinggal menunggu panggilan dari Pengadilan untuk menghadiri sidang pada hari tertentu yang ditetapkan oleh Majelis Hakim. Apa yang kemudian harus dilakukan para pihak untuk menghadapi proses persidangan ? Jika merasa perlu dibantu oleh seorang Advokat, maka anda bisa minta bantuan Advokat untuk mewakili anda dipersidangan (jadi anda boleh ikut hadir atau tidak hadir selama proses itu).

Dengan menghadiri sendiri tentu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa pengacara tetapi mungkin anda kurang paham dengan susunan acara dan istilah-istilah hukum yang dijumpai dalam proses persidangan. Pertama-tama (untuk gugatan), ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi yakni :

1. Penggugat hadir tetapi Tergugat tidak hadir, maka Tergugat dipanggil sekali lagi untuk hadir ke persidangan. Jika setelah dipanggil dua kali secara patut tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan akan diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa hadirnya tergugat, dikenal dengan istilah (Verstek)

2. Jika Tergugat hadir, tetapi Penggugat tidak hadir, maka Penggugat dipanggil sekali lagi untuk menghadiri sidang. Jika setelah dua kali dipanggil secara patut tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan akan dinyatakan gugur (jelas saja, bagaimana bisa yang berkepentingan mengajukan gugatan mahal tidak hadir dipersidangan setelah dipanggil. Ini menandakan Penggugat tidak serius mengajukan gugatan)

3. Jika Para Pihak hadir, maka Para Pihak berusaha didamaikan oleh Majelis Hakim memalui proses mediasi. Mediasi ini akan dibantu oleh seorang mediator (bisa dipilih sendiri oleh Para Pihak dari daftar yang tersedia di Pengadilan) Proses mediasi ini diberikan waktu paling lama 40 hari, namun jika disepakati oleh para pihak, jangka waktu tersebut bisa diperpanjang selam 14 hari. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Kemudian kesepakatan ini diajukan kepada Majelis Hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.

Akta perdamaian ini kekuatannya sama dengan putusan. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak dicapai suatu perdamaian, maka Mediator akan menyatakan bahwa proses mediasi gagal. Dengan demikian persidangan akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan di depan persidangan oleh Penggugat.

Proses jawab menjawab akan terjadi, di tingkat ini, pihak Tergugat mungkin akan banyak membantah isi gugatan yang diajukan kepadanya atau bahkan lebih banyak membenarkan, sehingga setidaknya akan terlihat jelas apa sesungguhnya yang menjadi akar persoalan di antara mereka.

Setelah jawab menjawab dianggap cukup (artinya menurut Majelis Hakim tidak ada lagi hal-hal baru yang dikemukakan oleh kedua belah pihak ) maka acara selanjutnya dilanjutkan dengan pembuktian. Penggugat mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan alasan-alasan yang diajukan kepada pengadilan untuk menuntut sesuatu hal kepada Tergugat, begitupun sebaliknya Tergugat juga mengajukan bukti-bukti sebagai bentuk perlawanan terhadap bukti yang diajukan oleh Penggugat.

Apa saja bukti2 yang dapat diajukan? Alat-alat bukti dalam hukum perdata sebagai alat untuk membuktikah hak-atau kejadian yang dikemukakan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1865 yakni :

1. Bukti tertulis

2. Bukti Saksi

3. persangkaan

4. pengakuan

5. sumpah

Bukti-bukti tersebut di atas akan menunjukkan apakah memang terbukti hak yang diakui seseorang atau memang benar peristiwa-peristiwa atau kejadian yang membuktikan hak yang ia miliki.

Terkadang pemeriksaan alat-alat bukti semacam ini memerlukan waktu yang panjang karena berbagai sebab, misalnya adanya kesulitan untuk menghadirkan Saksi (entah karena Saksi-Saksi tersebut tidak bersedia hadir secara sukarela atas permintaan para pihak, atau takut hadir dipersidangan karena tidak ingin dikait-kaitkan dengan suatu peristiwa yang tidak ingin ia campuri) atau bahkan justru karena banyaknya Saksi yang dihadirkan, sehingga persidangan menjadi panjang dan melelahkan.

Tata cara pemeriksaan Saksi dan apa saja yang perlu diperhatikan dalam memeriksa, menilai keterangan Saksi tidak akan saya jelaskan dalam tulisan ini karena memerlukan pembahasan yang sangat detail. Setelah para pihak mengajukan bukti-bukti yang merka perlukan untuk membuktikan gugatan dan bantahannya, maka selanjutnya para pihak diberikan waktu untuk menyusun sebuah kesimpulan.

Kesimpulan ini semacam resume dari hasil pembuktian dipersidangan yang dijadikan dasar bagi para pihak untuk memohon kepada Majelis Hakim agar menjatuhkan putusan sesuai dengan hasil pembuktian mereka masing-masing. Kesimpulan ini merupakan hak, jadi bisa digunakan bisa tidak, karena semuanya berpulang kembali kepada Majelis Hakim yang menilai pembuktian di persidangan.

Setelah tidak ada hal-hal lain lagi yang diajukan oleh Para Pihak, Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan. Prosedur administrasi perkara setelah diputus oleh Majelis Hakim akan dibahas dalam catatan berikutnya