Bagi yang selama ini merasa kecewa dengan cara kerja penyelenggara negara di seluruh lembaga kekuasaan negara baik di ranah eksekutif, legeslatif atau yudikatif, mereka mungkin akan semakin pandai memberikan label negatif pada setiap orang atau instansi yang berbau birokrat. Sikap skeptis dan pesimis menjalar dimana-mana, ketidak percayaan (distrust) kepada lembaga-lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan negara, khususnya dalam bidang penegakan hukum mengarahkan masyarakat kepada ketidak pedulian terhadap hukum yang berlaku.
Kondisi sepert ini ini tentu kontra produktif dengan cita-cita bangsa kita yang berharap segera keluar dari segala kemerosotan sebagai akibat dari kesalahan di masa lalu. Generasi muda dihadapkan pada situasi yang membingungkan, seperti seorang terpidana yang baru keluar dari penjara, sebelumnya ia sama sekali tidak mengetahui kondisi dunia luar, namun tiba-tiba ia dihadapkan pada sebuah realita yang diluar pemahamannya sehingga sulit mencerna setiap peristiwa dan galau untuk melangkah.
Pasca reformasi 1998, keterbukaan informasi menjadi satu hal yang sangat penting, Banyak hal yang sebelumnya sangat tabu untuk diketahui, akhirnya bisa diakses oleh publik secara terang benderang. Tetapi pemahaman masyarakat tentang aspek-aspek hukum yang substansial dari suatu peristiwa yang terjadi disekitar mereka menjadi masalah baru.
Memang telah terjadi perubahan besar pasca reformasi 1998, konstitusi telah beberapa kali dirubah, munculnya lembaga-lembaga baru, tatanan kelembagaan dan fungsi-fungsi alat kelembagaan negara juga disempurnakan dengan tujuan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Namun dalam tataran pemikiran, ternyata masih banyak yang belum berubah, konflik-konflik horizontal dan vertikal hampir setiap hari tersaji kehadapan publik.
Ada sebuah teori besar yang bisa menjadi dasar untuk mengamati keadaan masyarakat Indonesia saat ini yakni teori konflik. Teori ini mengedepankan situasi konflik sebagai karakteristik dalam proses-proses sosial. Teori konflik tidak melihat adanya hubungan yang berikatan antara bagian-bagian dari suatu sistem yang menimbulkan keadaan ekuilibrium (sebagaimana ditekankan pada Teori Struktural-Fungsional yang bertolak belakang dengan teori konflik), melainkan suatu keadaan yang dibayang-bayangi oleh konflik yang terus menerus (Prof. Satjipto Raharjo ; 1990)
Ada beberapa asumsi dari teori konflik yang dikemukakan oleh Apter sebagaimana dikutip oleh Prof Satjipto Raharjo yakni :
- Setiap masyarakat, setiap saat selalu dihadapkan kepada perubahan-perubahan sosial merupakan hal yang umum.
- Setiap masyarakat, dalam segala bidangnya selalu memperlihatkan adanya ketidak cocokan dan konflik-konflik sosial merupakan hal yang umum.
- Setiap masyarakat didasarkan pada pemaksaan oleh segolongan anggota-anggota masyarakat terhadap anggota-anggota masyarakat yang lain.
Konflik yang terjadi terus menerus tentu sangat mencemaskan, guncangan-guncangan dalam masyarakat bisa mengganggu tatanan sistem kemasyarakatan yang selama ini telah terbangun dengan baik yang dipayungi oleh agama, hukum adat dan hukum nasional sebagai sebuah kesepakatan bersama.
Lebarnya jarak antara ekspektasi masyarakat dengan kenyataan perilaku penegakan hukum yang selama ini memberikan celah terakumulasinya ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum, seolah-olah menjadi alasan pembenar tindakan-tindakan anarkis atau main hakim sendiri. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, Pemerintah sudah sepatutnya bertanggung jawab penuh, namun tidak bisa dibiarkan sendiri menanggulangi persoalan ini.
Negara memerlukan bantuan. Keadaan masyarakat yang cepat marah, tidak mengindahkan hukum, mengutamakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, menjadi sinyal bahwa aparat penegak hukum memerlukan banyak bantuan dari masyarakat yang mustinya mereka layani untuk menyadarkan lingkungannya tentang pentingnya menempatkan hukum sebagai panglima, menyadarkan bahwa walaupun kondisi penegakan hukum belumlah sempurna, namun seluruh pemangku kepentingan sekarang sedang didorong, diawasi dan dipaksa untuk berubah telah bekerja keras untuk mewujudkan kondisi yang lebih ideal .
Disatu sisi, sepertinya keadaan yang seperi ini menunjukkan kelemahan negara, namun disisi lain harus disadari pula bahwa ketidak acuhan masyarakat (karena rasa frustasi, pesimis dan ketidak percayaan) hanya akan menumbuhkan dan menyuburkan benih-benih konflik-konflik baru.
Kesadaran hukum masyarakat dapat terbentuk dari sebuah kedewasaan berpikir dan pemahaman tentang segala hal yang menjadi hak dan kewajiban dasarnya sebagai warga negara. Ini tentu tidak mudah bagi mereka yang sehari-hari masih bergelut dengan kesulitan ekonomi atau pendidikan. Rasanya hal-hal semacam ini terlalu jauh bagi mereka untuk dipikirkan, tetapi harus ada yang secara sukarela merangkul mereka, rela meluangkan waktu sedikit saja bagi mereka untuk memberikan semacam bekal ilmu yang sederhana, yang mudah dicerna dan diresapi. Sehingga adagium yang sampai sekarang masih menjadi sebuah harapan besar yakni “setiap orang dianggap tahu hukum” bisa terwujud, atau setidaknya terlihat jelas perjalanan ke arah itu.
Pemerintah memang memiliki program secara rutin yang disebut dengan penyuluhan hukum, namun intensitas dan sasarannya kurang. Bisa dimaklumi karena pelaksanaan program penyuluhan hukum ini terkait dengan birokrasi, sehingga penyelenggaraannya disesuaikan dengan tersedianya anggaran.
Melihat kondisi yang demikian, para sarjana hukum diseluruh Indonesia sesungguhnya punya tanggung jawab moral untuk menjawab kegelisahan ini. Gelar yang disandang sebagai “hadiah pertarungan akademis” di bangku kuliah harus dipertanggung jawabkan dihadapan masyarakat. Masyarakat, walaupun tidak mengungkapkannya secara jelas sesungguhnya menunggu peran para sarjana yang seharusnya siap pakai ini.
Dalam kerangka berpikir yang positif, para sarjana hukum sebaiknya mengambil posisi ikut bertanggung jawab terhadap gerakan penyadaran masyarakat tentang pentingnya menggunakan instrumen-instrumen hukum yang tersedia untuk menyelesaikan masalah.
Gejala-gejala sosial seperti menjamurnya aksi-aksi solidaritas dan perkumpulan-perkumpulan di dunia maya yang tertarik terhadap suatu bidang tertentu harus disusupi dengan informasi-informasi yang berkaitan tentang hak-hak hukum yang dijamin oleh konstitusi, prosedur-prosedur penyelesaian masalah di Pengadilan atau bagaimana tata cara mengajukan gugatan di pengadilan jika merasa haknya dirampas orang lain, bagaimana caranya menggugat pemerintah jika mereka merasa ada keputusan yang merugikan bagi mereka dan lain sebagainya. Sebagaimana yang telah diketahui, saat ini sangat mudah mengakses blog-blog yang berisi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum (biasanya disebut dengan istilah blawg)
Daerah-daerah pedesaan saat ini sudah dijangkau oleh akses internet, dengan bantuan telepon seluler, anak-anak dan orang tua di pedesaan sudah mulai akrab menggunakan fasilitas internet dengan biaya yang murah, kondisi semacam ini harus dimanfaatkan oleh para sarjana hukum untuk mengabdikan ilmunya bagi masyarakat disela-sela kesibukannya bekerja, bersenang-senang atau mengurus keluarga.
Sepertinya hal semacam ini sepele, tetapi jika dikemas dalam bentuk yang benarik dengan penyebaran yang bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit, tentu efeknya sangat luar biasa, asalkan dilakukan secara konsisten.
Jika kita sepakat bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah tanggung jawab kita bersama, maka alangkah baiknya jika setiap orang, khususnya sarjana hukum di republik ini, terlebih lagi bagi pemuda-pemuda yang fresh graduate, atas kesadarannya segera mengambil langkah-langkah nyata dan sederhana untuk menyelamatkan bangsa.
Semarapura, 8 Oktober 2010