14
Des
09

MENEMUKAN KEADILAN DALAM PENJATUHAN PIDANA

Dalam Undang-Undang dasar 1945, pasal 24 ayat 1 (hasil perubahan ketiga) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jika dihubungkan dengan pasal 28D ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka norma dasar ini memberikan suatu petunjuk yang jelas bahwa negara melalui lembaga-lembaga yang menerima kekuasaan darinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, harus melaksanakan kekuasaannya itu dengan tujuan tiada lain untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat, dalam memperoleh suatu keadilan dari proses penegakan hukum.

Ini semua bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil dilakukan. Para penegak hukum dan keadilan merupakan ujung tombak dalam misi ini. Mereka harus mengumpulkan energi sebesar-besarnya untuk tujuan utama dari proses penegakan hukum yakni keadilan, suatu keadaan dimana produk-produk hukum yang merupakan output dari seluruh proses peradilan, membuat masyarakat merasa dirinya terlindungi, damai dan bahagia.

Di wilayah hukum pidana, pada asasnya tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Penjatuhan pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku, merupakan salah satu unsur penting dalam penegakan hukum, suatu tindakan yang memerlukan formulasi tepat agar bisa menciptakan rasa aman dan menyentuh rasa keadilan masyarakat.

Dilihat dari sisi tujuan pemidanaan, terdapat dua konsep besar yang berkembang yakni tujuan pemidanaan yang menitik beratkan pada memberikan pembalasan terhadap kesalahan pelaku dan tujuan pemidanaan yang menitikberatkan pada manfaatnya bagi pelaku di masa depan melalui proses pembinaan.

Pengaturan mengenai jenis pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada pokoknya terbagi menjadi dua yakni : pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda (ditambah dengan pidana tutupan yang diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 1946) dan pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan Hakim. Diluar KUHP, ada juga jenis pidana tambahan lain misalnya : pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi (pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999).

Penjatuhan pidana berupa pidana penjara atau kurungan oleh Hakim juga tidak bersifat mutlak, karena dalam keadaan tertentu yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang, Hakim dapat memerintahkan agar seorang Terdakwa yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, tidak perlu menjalani hukumannya dengan memberikan jangka waktu tertentu sebagai masa percobaan. Pidana ini dikenal dengan istilah pidana bersyarat, yang lebih menekankan pada tujuan penegakan hukum yang  mampu memberdayakan efek pendidikan dan pembinaan, baik kepada masyarakat maupun bagi diri terdakwa sebagai pelaku tindak pidana. Tentu saja penjatuhan pidana bersyarat ini harus dilaksanakan secara hati-hati dan mempertimbangkan berat ringan perbuatan yang dilakukan serta memperhatikan ancaman hukuman dan dampak dari tindak pidana tersebut bagi masyarakat luas.

Dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, dengan harapan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, perlu juga dipertimbangkan latar belakang dari pelaku yang berkaitan dengan hal-hal seperti : pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan. Kenapa hal ini penting? karena latar belakang ini menjadi salah satu penilaian terhadap tingkat kesadaran hukum seseorang. Mempertimbangkan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan lingkungan tempat tinggal seseorang dalam menjatuhkan pidana, bukanlah suatu tindakan yang bertujuan membeda-bedakan orang dalam suatu proses penegakan hukum.

Kesadaran hukum yang sepatutnya ada dalam diri pelaku berdasarkan latar belakang merekalah yang membuat mereka harus dijatuhi hukuman yang berbeda ketika mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Tentu tidak bisa disamakan penilaian kita terhadap kemungkinan kesadaran hukum antara seorang warga di pedesaan terpencil yang tidak pernah merasakan bangku sekolah, dengan seorang sarjana lulusan universitas terkenal di ibu kota atau seorang pejabat yang memiliki kewajiban melayani masyarakat dan memberikan contoh yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Jika mereka melakukan pelanggaran hukum yang sama, sungguh tidak adil jika hukuman yang dijatuhkan sama beratnya.

Selain latar belakang dari pelaku, pertimbangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah, seberapa besar dampak yang dialami masyarakat akibat tindak pidana yang dilakukan dan keadaan masyarakat pada saat tindak pidana itu dilakukan. Salah satu contohnya adalah pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Reaksi terhadap suatu pelanggaran hukum yang mempertimbangkan kondisi psikologis pelaku bisa dilihat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang tersebut, Hakim diberikan keleluasaan untuk menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak yang terbukti melakukan tindak pidana. Tindakan  yang diatur dalam pasal 24 ayat (1) bisa berupa : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu, Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya.

Pada akhirnya, reaksi-reaksi yang diberikan melalui tangan-tangan para penegak hukum berdasarkan kewenangan yang mereka miliki terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan goncangan dalam tatanan sosial dalam masyarakat, akan menjadi salah satu dasar penilaian apakah penegakan hukum menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat atau tidak.

Waingapu, 30 Nopember 2009


0 Tanggapan to “MENEMUKAN KEADILAN DALAM PENJATUHAN PIDANA”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar